Ruangan itu keseluruhannya putih. Dindingnya bercat putih bersih terdapat beberapa cat yang sedikit mengelupas. Ruangan itu berbentuk segi empat di setiap sisi nya tergantung cermin setinggi dada orang dewasa berbentuk bulat berdesain klasik khas zaman kolonial. ruangan itu sangatlah putih dan bersih dalam arti yang sesungguhnya. Tidak ada perabotan atau barang apapun yang memenuhi didalamnya. Kecuali satu buah white side chair berdesain modern. bahan kulit pada alas dan punggungnya dengan kaki berbahan chrom cenderung metalik. Kursi tersebut mengarah pada satu-satunya jendela besar diseberang kamar tepat disebelah cermin. Pemandangan pekarangan rumah serta gazebo tempat bersantai menjadi materi yang berwarna bila dilihat secara keseluruhan di ruangan putih ini. Pada pojok ruangan terdapat single table sekaligus rak di bagian bawahnya. Lagi-lagi meja tersebut berwarna putih. Terdapat buku catatan kecil berwarna putih di atasnya. Pada rak bagian bawah terdapat beberapa map bening berisikan dokumen-dokumen. Matahari menerobos memasuki ruangan memunculkan eksistensi nya setelah 12 jam menghilang di ruangan itu. Tiba-tiba kursi bergeser memutar membelakangi jendela dan duduklah sang empunya. Pria berpakaian jas hitam celana hitam. Jasnya tidak dikancing memperlihatkan kemeja putih tulang yang bertemu dengan ikat pinggang berwarna silver. Bunyi ‘tuk tuk’ selama beberapa menit dihasilkan dari sepatu pantofelnya yang mengkilat. Saingan dengan detak jam dinding putih yang disadari keberadaannya hanya dari bunyi detaknya. karena jarum dan angkanya juga berwarna putih.
Pria itu melirik jam tangannya kemudian kelopak matanya menutup seperti sedang berpikir. Sesekali justru terlihat seperti tidur dan beberapa kali alis nya mengkerut. Ekspresinya yang unik mengaburkan arti sebenarnya. Kerutan alisnya menggambarkan perpaduan sempurna sebuah kesakitan dan kebingungan. Matanya membuka kembali. Bola mata coklatnya menatap kosong pada permukaan lantai. Wajah Saga terlahir memiliki rahang tegas, alis lurus meruncing lembut mengarah keatas, bibir tipis dan mata sipit. Wajah oriental yang dimilikinya merupakan warisan dari kakek Saga yang merupakan keturunan Jepang Asli. Rambutnya hitam lurus pendek rapi tampak sangat cocok dengan bentuk wajahnya yang tirus. Tatapan mata Saga merupakan satu-satunya yang bernyawa dan sangat dalam. Membuat siapa saja yang berhadapan dengannya akan terpana dengan tatapan nya yang sangat tajam. Saga bagaikan manusia paling serius di muka bumi. Setiap tindakannya kaku, terstruktur dan didukung dengan jarangnya ia tersenyum.
Setiap pagi sebelum Saga berangkat kerja ia selalu memasuki ruangan putih yang berada di salah satu bagian di rumahnya yang besar. Memasukinya menggeser kursi kemudian duduk termenung. Sambil memejamkan mata sambil sesekali menggumamkan kata-kata tidak jelas. Ruangan itu pasti akan memberikan efek ketenangan bagi siapa saja yang memasukinya. Namun jelas ruangan itu hanya milik Saga, tidak ada seorangpun yang pernah atau berani menginjakkan kaki kedalamnya. Pembantu rumah tangga Saga yang berjumlah selusin itu pun tak satupun diperbolehkan membersihkan ruangan tersebut. Hanya Saga yang berkuasa diruangan tersebut. Tidak ada yang istimewa, hanya 1 buah kursi, 1 buah jam dinding, 2 buah cermin , jendela dan pintu. Di pojok ruangan terdapat meja dan pada kolong meja tersebut tergeletak 1 buah mobil mainan berwarna biru yang sudah usang. Tak pernah disentuh. Ruangan ini bukan ruang kerja. Saga memiliki ruang kerja pribadi di rumahnya di sudut rumah yang lain. Saga menyebutnya ruangan putih. Bagi siapa saja yang mempertanyakannya.
Hari itu Saga termenung cukup lama sambil memejamkan mata nya. Tangannya mengusap punggung tangannya yang lain. Tak lama kemudian handphonenya berdering.
“Selamat pagi Pak, mohon maaf mengingatkan jadwal pertemuan pagi ini. Klien baru saja tiba di lobi” suara sekretaris Fiona memecah keheningan pagi Saga.
“Anda sudah menyiapkannya kan pak ? Ini klien yang sulit dan sepertinya beliau tidak suka menunggu” Fiona melanjutkan ketika mengetahui Saga hanya menyalurkan suara nafas di telinga telepon nya. Tak bergeming.
“Pak Saga yang terhormat? Bapak mendengar saya? “ tambah Fiona mulai tidak sabar
“Saya sudah tahu. Dengan saya mereka rela menunggu” Jawab Saga singkat langsung menutup telepon. Tak memberi kesempatan sekretaris nya untuk menjawab.
Seperti yang sudah-sudah Fiona akan langsung ikut meletakkan teleponnya memasang ekspresi sedikit bingung mengerutkan alis, tersenyum kecut sebentar karena berusaha memahami sikap atasannya yang cenderung aneh itu lalu kembali bekerja seperti tidak terjadi apa-apa.
Saga meninggalkan ruangan putih setengah berlari dan tak sengaja membanting pintu sehingga menghasilkan bunyi debam yang cukup keras. Suara nya bergema memenuhi lorong menuju ruang tengah. Suasana rumah sepi yang ada hanyalah aktifitas para pembantu disetiap titik pekerjaan. Bunyi pintu yang keras cukup menyebar kesemua sudut rumah. Namun tidak ada yang bereaksi. Semua terlihat seperti biasa saja.
Saga melempar tas nya kedalam mobil nya yang sudah terparkir tepat didepan pagar rumah. Siap untuk digunakan. Setiap pagi Pak Slamet supir nomor 1 selalu mengeluarkan mobil Saga dari dalam garasi, memanaskan dan mencucinya setiap habis dipakai saat pulang kerja. Supir nomor 2 Pak Baim mengurusi mobil nya yang lain yang jarang digunakan. Namun Pak Baim lah yang paling sering mengantar Saga kemanapun bila ingin ditemani. Sedangkan Pak Slamet hanya fokus pada perawatan mobil-mobil Saga.
Radio 75.5 fm Suara Bahagia dengan suara penyiarnya yang ngebass dan sangat lembut memenuhi mobil di sela-sela kemacetan kota Samarinda. Penyiar menyapa hangat pendengar dan mulai membacakan berita-berita terkini seputar kebijakan pemerintah, event-event kota yang akan datang, serta tentang bisnis dan ekonomi. Penyiar pun memberikan semangat khas pagi hari yang sudah sering kita dengar. Namun terkadang setiap manusia yang memulai aktifitas paginya tidak semuanya yang merasa bahagia. Pagi menjadi momen dimana kita dapat melihat manusia dengan lebih gamblang berada pada posisi yang terburu-buru. Bunyi klakson disetiap penjuru jalan bersahut-sahutan. Kecepatan kendaraan meningkat bila dibandingkan dengan sore harinya. Semua orang tertuntu oleh kewajiban menjalankan perannya. Entah itu memang merupakan dirinya atau bahkan kebanyakan orang-orang hanya sekedar menjalankan perannya tanpa pernah merasa menjiwainya.
Sagara Group berlokasi di pinggiran kota. Bangunannya yang menjulang 10 lantai membuat perusahaan ini cukup terkenal di seantero kota Samarinda. Dari sudut kota manapun kantor milik Saga pasti akan terlihat. Ujung bangunan yang mengerucut menjadi daya tarik bangunan ini. Apalgi ketika malam dari kejauhan pendaran lampu pada ujungnya terlihat indah.
Saga keluar dari mobil sembari membawa tas dompet beserta map yang berisi dokumen. Fiona stafnya yang berada di divisi penjaminan mutu sekaligus ditunjuk sebagai sekretarisnya sudah berdiri hendak menyambut kedatangan Saga dengan langsung mengambil map dokumen yang dibawa bos nya itu.
“Selamat pagi Pak. Senang bertemu anda” Sapa Fiona riang. Tubuhnya berjalan bersisian dengan Saga yang hanya sebentar menoleh pada bawahannya yang cantik itu kemudian melanjutkan berjalan dengan pandangan lurus.
Fiona salah satu karyawan yang cukup berprestasi dan yang paling dekat dengan Saga. Pernah satu kantor menggosipi bahwa antara Saga dan Fiona terdapat hubungan yang spesial. Para karyawan yang lain cenderung mendukung Fiona karena keduanya sama-sama cerdas. Fiona karyawan yang potensial, melakukan tugasnya dengan sangat baik, kecerdasannya mampu dengan cepat menggaet banyak customer sehingga meningkatkan permintaan stok obat-obat. Fiona jugalah yang mendorong perusahaan untuk membuat racikan-racikan terbaru dan menambah fasilitas laboratorium peracikan. Auranya mempesona siapa saja yang berinteraksi dengannya. Fiona lah yang konon pernah membuat Saga tertawa melihat ia pernah lupa memakai sepatu. Saat itu ia kekantor dengan langkah terburu-buru menghampiri Saga yang hendak menuju ruangan kerjanya Saat Saga menoleh Fiona langsung nyerocos menjelaskan ide-ide nya yang brilian terkait project kerjasama bersama perusahaan lain yang terkenal sulit untuk mau diajak berkolaborasi. Namun hal yang tak disangka terjadi, Saga tertawa kecil melihat Fiona yang saat itu masih mengenakan sandal jepit dengan hiasan hello kitty pada talinya. Wanita itu malu sekali, wajahnya merah dan seketika ia izin untuk mengambil sepatunya sembari berjanji pada Saga untuk menceritakan kembali ide dikepalanya yang tertunda. Dalam perjalanan mengambil sepatu, Nana teringat senyuman Saga. Ia menghampiri Tuti, rekan kerjanya sekaligus sahabatnya di kantor.
“Tut, pinjem sepatu dong, gila aku malu banget”
“Pake sandal bagus kok Na, kamu masih terlihat cantik. Lagian gak apa-apa kali selagi kamu gak niat nemuin Pak Ganteng” timpal Tuti, matanya masih focus pada layar komputer. Tangannya dengan cekatan bergerak-gerak. Pak Ganteng yang dimaksud siapa lagi kalau bukan CEO perusahaan ini. Sagara Giandra.
“Justru itu baby, Pak Saga ngeliat aku pake sandal” wajah Fiona benar-benar ketakutan kali ini.
Ia ingat terdapat peraturan utama yang tidak boleh dilanggar terkait dengan kesopanan adalah dilarang memakai sandal ketika menemui atasan atau berjalan di lingkungan kantor untuk keperluan pekerjaan. Bila tujuannya adalah ke toilet atau kantin masih bisa ditolerir. Sedangkan hal yang paling haram adalah menemui sang CEO hanya mengenakan Sendal. Namun Fiona teringat betapa tidak sopan dirinya. Ia memanggil Saga seperti seorang teman dan mengenakan sandal rumahan yang sangat tidak menarik kecuali aksen pink dan hello kittynya itu. Nana membuat kesalahan besar.
“Gila kamu Na, aku tahu kamu lagi deket sama bapak, tapi please jangan segitunya lah. Curiga ntar kamu Cuma pake piyama nemuin bapak. Hahaha” celotehan Tuti sangat tidak membantu. Tawa Tuti renyah setengah meledek sahabatnya yang pucat itu.
“sudah kubilang aku gak deket sama dia Tut, kamu percaya apa kata mereka?”
“Kali ini aku mulai percaya” jawab Tuti singkat dengan nada nya yang usil. Tangannya mencari-cari high heelsnya yang berada di kolong meja.
“Oke tuti cantik, aku memang tertarik padanya tapi bisa deket sama Saga itu sama aja kayak berenang menyeberangi sungai Mahakam sedangkan aku gak bisa berenang. Tahu kan seberapa mustahilnya ? Pak Saga itu super dingin.”
“Tapi kamu itu kandidat paling memungkinkan diantara yang lain. Karyawan yang paling sering dipanggil keruangannya. Oiya, aku lupa menanyakannya, bagaimana reaksi Pak Ganteng kamu pake sandal, gak ditembak ditempat kan? Kamu berhasil kabur, hebat lho” cerocos Tuti memperhatikan Fiona.
Tiba-tiba Fiona teringat kembali kejadian itu, senyuman Saga yang sungguh indah baru pertama kali Nana melihat senyuman Bos nya yang sungguh menawan itu. Ya Fiona baru ingat , Saga tertawa melihatnya menggunakan sandal.
“Astaga Tutiiiii,,,,,,Dia ganteng banget sumpah. Aku merasa paling beruntung bisa melihat Pak Saga tersenyum. Udah ya aku balik dulu mau ketemu pujaan hati” Pekik Fiona dan kemudian berbisik. Tangannya cekatan menyambar high heels ditangan Tuti. Memasangnya dan langsung menghilang dibalik pintu. Meninggalkan Tuti yang menganga tak percaya membayangkan bos pemilik perusahaan ini tersenyum.
***
Saga berjalan memasuki ruangannya sambil dibuntuti oleh Fiona yang ikut melangkah menuju ruangan. Mejanya tepat didepan ruangan Saga, ia menyapa bosnya itu sambil mengucapkan selamat pagi yang standar.
“Kamu bisa keluar dulu, saya mau mempelajari sebentar dokumen ini” kata Saga tanpa melihat kearah Fiona. Wanita itu langsung melangkah keluar.
“oh ya, Arahkan tamu ke ruangan rapat di lantai 5 ya” tambah Saga tetap serius membaca dokumen. Fiona hanya menggangguk ‘Baik Pak”
“Oh iya Pak. Saya mau minta maaf dulu pernah memakai sandal saat menemui bapak.” Saga menoleh kearah Fiona. Wajahnya datar namun seperti berpikir sejenak. Ekspresinya sekilas terkesan bingung. Ia menatap Nana cukup lama.
“Maaf pak, saya kepikiran jadi saya utarakan. Saya takut Bapak marah”
“Kamu pernah pakai sandal temui saya? Sudahlah lupakan saja.”
“Baik Pak”