3 Titik Cinta Saturnus & Venus

제천대성
Chapter #5

Lovebird

~Bianca Beladina

"Apa ini? Kapan aku mulai seperti ini? Selalu saja jantungku berdegup kencang saat akan melewati kantin. Tidak ada yang istimewa di situ, tidak akan ada V oppa yang sedang makan nasi goreng bibi kantin. Ada apa denganku? Apa aku mulai sudah tidak waras?. Ahhhh.." Aku bertengkar dengan pikiranku.

Aku melanjutkan langkah gontaiku seperti biasa. Ada yang lain dari jalan ini. Aku melihat ada dua sangkar burung dan seekor burung masing-masing dalam sangkar yang tergantung di pelepah pohon sawit rendah. Yang satu berwarna hitam dan yang satu berwarna biru. Cantik. Biru itu sangat cantik. Aku menyadari jika sebentar lagi jam masuk kerja. Aku terlalu fokus memandangi burung biru indah itu, sepertinya tak sempat lagi untuk sarapan. Bukan lagi sepertinya, memang tidak akan sempat. Aku memilih berlari agar cepat sampai ruangan kerja, melewati kantin dengan menyapa bibi kantin sambil lari terburu-buru. Sekilas kantin tersebut kosong hanya ada bibi dan aku merasa seperti tidak puas.

******

Nota, faktur pembelian, nota, nota, faktur pembelian, nota lagi. Seperti itulah. Satu persatu aku menginput bukti transaksi pembelian. Setiap hari. Tetapi akan berbeda jika ada transaksi penjualan. Bedanya adalah akan ada akun penjualan yang aku input di jurnal. Bedanya lagi yaitu aku mengetahui berapa besar pendapatan perusahaan. Rasanya kebahagiaan yang hakiki jika ada uang yang masuk ke dalam perusahaan. Kebahagiaan yang lebih hakiki lagi adalah uang tersebut masuk ke dalam dompet biru kecilku. Memang godaan korupsi sangat kuat sekali. Tapi imanku harus lebih tangguh lagi. Aku tidak mau berlaku curang, meski aku sangat suka uang.

Mataku mulai lelah. Aku segera berdiri dari kursi putar ternyamanku dan beranjak menuju jendela di belakang meja Mbak Rika. Aku ingin melihat dunia luar, biar sedikit segar pikirku.

"Kau ingin mengintip pekerjaanku? Jangan kepo deh." Sindir Mbak Rika

"Aku? Kenapa aku harus kepo dengan pekerjaanmu mbak? Pekerjaanku saja sudah sangat menumpuk dan ribet. Aku sedang tidak ingin mengetahui pekerjaan yang lain."

"Jika tidak kepo? Apa kau sedang memata-mataiku, lalu jika selip kesalahan kecil kau melaporkanku pada atasan?". Skeptis Mbak Rika.

"Aku hanya akan mengurus diriku dan pekerjaanku. Bagiku bagaimanapun kalian tidaklah penting. Jadi berhentilah mencurigaiku".

"Lalu, sedang apa kau di belakang mejaku? Kalo bukan ingin memata-mataiku?"

"Aku tidak tepat di belakang mejamu. Aku berdiri di belakang agak ke samping mejamu. Sudahlah, diam dan kerjakan saja tugasmu mbak. Aku ingin melihat dunia luar".

"Dunia luar? Kau hanya akan melihat sekumpulan pohon sawit disitu. Hahahah." Mas Aryo ikut menimbrung dan mengejek. Aku hanya membalas tatapan sinis pada Mas Aryo.

Ku lihat teh manis Mbak Rika masih penuh dan utuh di dalam gelas keramik putih bergambar beruang imut berwarna coklat. Kebetulan aku sedang rada haus.

"Mbak Rika, apa kau sengaja mendinginkan teh mu? Sepertinya teh itu belum kau minum."

"Iya benar, aku memang sengaja mendinginkannya. Aku tidak suka menikmati teh yang masih panas ataupun hangat."

"Kenapa kau tidak memberikan batu es saja, mbak?" Tanyaku ingin tahu.

"Tidak. Aku juga tidak ingin menikmati teh yang dingin karena batu es."

"Lalu kenapa tidak kau masukkan di dalam kulkas saja?"

"Aku ingin mendinginkannya dengan suhu ruangan". Mbak Rika menjawab dengan cepat secepat jarinya yang sedang mengetik.

"Lalu..."

"Tidak usah banyak tanya, cepat katakan apa yang ingin kau mau? Jika kau sudah banyak tanya kau pasti menginginkan sesuatu. Jadi cepat katakan." Potong Mbak Rika sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku.

"Hehehe iya mbak. Terakhir tadi aku mau nanya. Lalu apa boleh aku mencicipi sedikit teh mu?" Tanyaku dengan memasang wajah memelas nan imut.

Mbak Rika menatapku dengan singit. Sedang aku masih mempertahankan ekspresiku. Dan benar, aku memenangkan adu ekspresi. Mbak Rika mengizinkan tehnya dicicipi olehku.

Setelah mencicipi aku meletakkan kembali gelas yang berisikan teh di posisi semula. Sontak Mbak Rika memarahiku setelah melihat tehnya.

"Kau ini kenapa Bian? Apa karena akuntansi mu tidak balance sehingga kau melampiaskan kekesalan dengan meminum setengah gelas tehku?. Menjengkelkan sekali." Teriak Mbak Rika yang memecah kedamaian ruangan yang memancing semua mata ke arah ku.

Ini memang salah ku, tapi aku tidak perduli. Aku hanya ingin merasakan teh Mbak Rika yang ternyata enak. "Mbak, itu masih ada sisanya kok. Mbak masih bisa meminum itu. Aku kan tidak menghabiskannya. Kau jangan berteriak seperti itu Mbak. Dan jangan marah-marah. Lihat garis penuaan sudah mulai muncul di wajah mu Mbak." Kataku dengan nada setengah tinggi sambil menggoda Mbak Rika. Lekas saja ia mengambil cermin untuk melihat wajahnya. Ia memang sangat takut wajahnya cepat tua, apalagi di usianya yang sudah berkepala tiga, sudah pada tahap waspada terhadap penuaan. Lihat saja, Mbak Rika tak melanjutkan marahnya pada ku, lantas ia sibuk mengkhawatirkan wajahnya di depan cermin. Yeah, i'm save.

Ku lirik Mas Aryo yang sedang tersenyum geli dan geleng-geleng kepala. "Hemm sepertinya kau sedang tidak melihat dunia luar Bian" Mas Aryo mencoba menerka.

"Diamlah, tidak usah ikut campur Mas. Pekerjaan mu menumpuk tuh". Ketusku, namun mata ku masih mengarah keluar jendela.

Lihat selengkapnya