~Bianca Beladina
Rasanya aku tidak ingin berkerja hari ini. Aku tidak tahu harus memasang ekspresi apa di hadapan Felix. Aku menyesal telah membuang kertas itu. Seharusnya ku biarkan menjadi penghuni laci.
"Aduhh.. Bagaimana ini?". Aku menggigit bibir bawah ku. Sungguh aku bingung.
Sudah hampir jam 8. Aku harus bergegas. Biarlah apa yang akan terjadi hari ini aku masa bodoh.
"Ibu... aku berangkat kerja ya."
Lalu Ibu keluar dari dalam rumah. Aku berpamitan dan tak lupa mencium tangan ibu.
"Hati-hati di jalan. Baca do'a ya nak."
Ku tatap wajah Ibu yang semakin keriput. Matanya yang sayu, nafasnya yang sudah tersengal-sengal, serta tulang dan sendinya yang sudah sering mengilu. Namun senyuman Ibu selalu mengantarkan aku berangkat kerja di pagi hari. Meski pasti ada di suatu hari, pagi ku di mulai dengan teriakan Ibu. Sudah tua namun nada tingginya tak pernah lelah.
"Iya bu, Assalamu'alaikum".
"Wa'alaikumsalam."
Segera ku laju motor matic biruku. Di tengah perjalanan aku mengagumi Ibu. Aku sudah pernah berbicara pada Ibu, kalau Ibu berhenti saja menyadap karet di kebun Wak Ita. Biar adik ku yang kedua saja yang menyadapnya. Berhubung adik ku sudah lulus SMA dan tidak ingin lanjut kuliah, maksudku sembari kursus menjahit di sore hari ada baiknya adik ku yang menggantikan Ibu menyadap karet setiap pagi.
Aku teringat kejadian di awal aku masuk kuliah. Aku sengaja berkuliah di luar pulau, tepatnya di Yogyakarta. Menjadi gadis perantau dari pulau Sumatera. Aku lulus pendaftaran beasiswa bidikmisi di UNY. Sengaja menjauh dari kegagalan cinta pertamaku dan menjauh dari rumah yang penuh peraturan Ibu. Aku menyayangi Ibu tapi tidak menyukai aturan-aturan yang membatasi keinginan anak-anaknya. Yang kadang menyebabkan pertikaian antara aku dan Ibu. Mungkin karena niat buruk ini kejadian terkutuk di pantai waktu itu terjadi. Seketika aku lemas dan berkeringat dingin saat mengingatnya kembali.
******
Aku menunggu Felix di meja kantin. Kali ini aku tidak ingin makan apapun. Hanya minuman es jeruk yang menjadi pesanan ku dengan Bi Laila.
"Apanya yang jangan telat. Sendirinya padahal yang tidak telat waktu. Menyebalkan." Aku menggerutu sendiri.
Sepuluh menit kemudian akhirnya Felix datang.
"Sorry Bian hehe.. akunya kelamaan datang. Tadi pimpinan tiba-tiba menelpon ku. Padahal aku sudah berjalan ke arah sini."
"Terserah kau sajalah. Aku juga belum jamuran kok." Aku berusaha menyembunyikan wajahku yang sepertinya mulai memerah di balik kertas menu makanan.
"Kau malu padaku?" Felix mengetahui gelagatku sepertinya.
"Untuk apa aku malu padamu." Aku benar-benar berusaha keras menutupi rasa malu ini.
"Wajah kau tidak pernah memerah sebelumnya. Kau itu sedang malu padaku kan? Hahahaha..." Senang sekali Felix mentertawakan ku.
"Sudahlah. Cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan."
Tiba-tiba Felix dengan cepatnya merebut kertas menu dari ku. Bahkan tangan ku tak sempat lagi menariknya kembali. Bagus, aku makin salah tingkah.
"Sudahlah jangan malu-malu seperti itu. Hari ini aku tidak akan membahas perasaanmu yang ketahuan oleh ku." Felix tersenyum kecil sedang aku hanya mendengus.
"Apa kau suka menonton kartun atau film animasi gitu?". Tanya Felix.
"Iya aku suka sekali bahkan".
"Baguslah. Bagaimana menurutmu dengan film-film animasi Disney? Terus film Disney apa saja yang sudah kau tonton?"
"Aku menyukai segala animasi Disney. Sudah lumayan banyak sih." Aku masih menahan malu dan tetap tenang.