3 Titik Cinta Saturnus & Venus

제천대성
Chapter #10

Kilas Balik

“Setelah pagi itu, saya memang tidak ingin berbicara apapun dengan Felix, sebisa mungkin saya menghindarinya, jangan sampai saya bertatap muka dengannya. Begitu juga dengan di media sosial, bahkan saya sempat memblokir semua akun Felix. Rasanya saya benar-benar tidak ingin berhubungan dengan Felix.” Bian menatap langit biru berawan yang terlihat dari jendela di dalam ruangan itu. Sedang lelaki berkisar hampir lima puluhan tahun di depan Bian, menyimak dan memahami cerita Bian.

“Dua minggu setelahnya, Felix datang menemui saya di ruangan kerja. Membuat semua orang bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi diantara kami. Kami akhirnya berbicara di luar menghabiskan hari untuk membahas permasalahan dua minggu lalu.”

(6 bulan yang lalu / bulan februari / dua minggu setelah drama pagi 24 Januari)

Tengah duduk berhadapan seorang laki-laki bermata sipit berkulit hitam manis dan perempuan berambut coklat gelap panjang yang dikuncir diantara meja kantin. Segelas kopi hitam milik si pria dan segelas matcha milik si perempuan di atas meja. Felix menatap Bian dengan penuh pertanyaan, seakan-akan kepalanya sangat penuh dan tidak tahu harus pertanyaan yang mana yang menjadi pembuka. Bian, menatap ke arah lain untuk menghindari kontak mata dan menunggu agar Felix duluan yang buka suara.

“Aku merindukanmu, Bian.” Kalimat pertama yang dipilih Felix. Kalimat yang begitu penting untuk disampaikannya selama ini.

“Aku juga.” Balasan Bian yang membuat hati Felix bahagia. Diletakkannya kembali ke atas meja teh hijau hangat yang baru sedikit diminum Bian.

“Kenapa kau menghindari ku, Bi? Apa kau mulai membenci ku?”

“Aku tidak yakin. Aku hanya tidak ingin diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang barangkali akan kau tanyakan setelah kejadian waktu itu.”

“Jadi, apakah hari ini termasuk hari dimana aku akan mengganggu mu?”

“Entahlah, tapi lebih baik jika kau tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan padaku. Aku paham, menyimpan banyak sekali pertanyaan rasanya sungguh tidak nyaman. Maafkan aku, sempat melarikan diri dari mu, Felix.” Bian akhirnya menatap Felix seraya tersenyum, berharap Felix tidak mempermasalahkan tindakan konyolnya selama dua minggu ini.

“Sebenarnya aku ingin sekali marah, kenapa kau bertingkah seperti itu kemarin. Tapi hari ini aku sedang tidak bisa marah. Mungkin besok, atau lusa, atau mungkin besok lusa, belum pasti kapan aku akan marah padamu karena tindakanmu, kau tunggu saja kedepannya.” Felix meminum kopi hitamnya, Bian kembali tersenyum.

“Baiklah, saat ini aku adalah narasumbermu, jadi silahkan bertanya tuan pewawancara.”

“Pertanyaan pertama, bagaimana cerita masa lalumu dengan Mita? Aku tahu aku tidak bisa mengatasi atau bahkan memutar kembali waktu, namun aku ingin kau membagi sedikit ceritamu pada ku.”

“Felix, jika aku bercerita tentang hal itu hari ini pada mu, maka kau adalah orang pertama tempatku berbagi akan cerita itu. Aku selalu mengatakan ke teman-teman semasa kuliah, bahwa ayahku telah meninggal karena sakit.  Dengan begitu tidak akan banyak pertanyaan. Dan aku bisa melupakannya. Tapi ternyata, memendam sendiri, mencoba melupakan dengan upaya sendiri itu cukup sulit.” Bian meneguk sedikit teh hijau yang mulai dingin.

“Fel, aku dulu punya sahabat, tempat satu-satunya aku dan dia, kami saling berbagi. Aku yang lompat kelas tak jadi penyebab kami memisahkan diri. Dikira orang kami adalah penyuka sesama jenis saking lengketnya. Yahhh,,, ternyata ada yang terlibat cinta terlarang di balik sebuah persahabatan. Ayahku dan kakak perempuan Mita, Kak Lea. Pada akhirnya mereka memutuskan menikah. Sebelum pernikahan itu terjadi, aku dan Mita berusaha untuk memisahkan Ayah dan Kak Lea. Namun Mita menyerah, dan mengatakan, jatuh cinta adalah hak mereka berdua. Persahabatan kami pun pecah. Aku membenci semua keluarga itu. Aku masih sayang dengan Mita sejujurnya, tapi sejak kejadian kita pagi itu, aku tak yakin lagi.”

“Kau masih menyayangi Ayahmu bukan? Buktinya kau masih menyebutnya Ayah.”

“Ahhhh… seharusnya ku panggil dia Pria Bajingan kan Fel?”

Felis menyeringai. “Kau pernah mencintai Gio?”

“Iya, Fel. Senior tertampan menurutku. Tapi dia menolakku, dia mengatakan kalau aku ini, tidak cantik. Tapi aku tidak menyalahkannya, aku saja yang tidak tahu diri. Haha.”

“Aku cemburu kau menyebutnya yang tertampan. Apa aku kalah tampan darinya? Apa kau masih mencintainya sekarang?”

“Jika masalah tampan, Gio masih menang darimu.” Bian tersenyum menggoda Felix. Felix yang kesal dan cemburu meminum kopi hitamnya sekaligus sampai hanya meninggalkan ampas.

“Penolakan Gio membuat aku sadar diri dan aku tidak ingin menyatakan perasaan lagi. Tepat nya aku tidak ingin jatuh cinta lagi. Aku ingin fokus ke akademisku dan fokus menjadi wanita karir saja. Tapi keinginan hanya lah keinginan. Aku pun jatuh cinta lagi, dan itu padamu Felix. Perasaanku padamu lebih besar dari rasaku pada Gio dulu. Aku tidak bohong dan ini bukan gombal.”

“Terserahmu saja, aku juga tidak memaksa kau untuk membalas rasaku. Namun jika pernyataan kau barusan benar, maka aku sangat senang mendengarnya dan terimakasih.” Felix memperhatikan wajah lesu Bian. “Sekarang bagaimana keadaan Ibu kau, Bian?”

Lihat selengkapnya