Charles de Gaulle, Paris adalah bandara yang menjadi neraka bagi Kretcha. Ia berdiri canggung dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Berada di negara asing untuk pertama kalinya membuatnya merasa terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Orang tuanya mengirimnya ke sini untuk menuntut ilmu di bidang yang tidak ia sukai, di jurusan ilmu komputer di Universitas Sorbonne. Harapannya untuk kuliah sastra Indonesia tenggelam bersama tuntutan keluarga yang keras dan ambisius.
"Aku bisa melakukan ini," gumam Kretcha pada dirinya sendiri. "Aku harus membuktikan pada mereka bahwa aku bisa."
Ia melangkah ke area pengambilan bagasi dengan langkah ragu. Tatanan rambut panjangnya yang tergerai tampak sedikit kusut setelah perjalanan panjang. Matanya yang besar dan ekspresif berkeliling mencari koper hijau mudanya, yang entah kenapa tak juga muncul.
Saat menunggu, ia memperhatikan seorang perempuan berjilbab dan berwajah lembut yang juga tampak sedang mencari kopernya. Perempuan itu sesekali melirik ke arahnya dan tersenyum ramah.
"Hai," sapa perempuan itu dengan suara lembut. "Kamu juga dari Indonesia?"
Kretcha mengangguk. "Iya, aku baru sampai. Kamu juga?"
"Benar, aku Balai Pustaka. Senang bertemu denganmu." Balai mengulurkan tangan.
"Kretcha Apipah," balas Kretcha sambil menjabat tangan Balai. "Senang bertemu denganmu juga."
Balai tersenyum hangat. "Kamu kuliah di mana?"
"Di Sorbonne, jurusan ilmu komputer," jawab Kretcha dengan sedikit desahan. "Padahal aku ingin kuliah sastra Indonesia."
Balai tertawa kecil. "Wah, kita satu kampus. Aku juga di Sorbonne, sama-sama jurusan ilmu komputer juga."
"Oh, benar?" Mata Kretcha berbinar sejenak. "Syukurlah, setidaknya ada teman senegara. Bersama-sama menderita di kota asing ini,"ucap kretcha sambil tertawa kecil
"Kamu terlihat sedikit tegang," kata Balai sambil melihat ke arah koper yang masih belum muncul. "Apa kamu butuh bantuan?"