Kretcha dan Balai duduk di sebuah kafe kecil di Prancis, menghabiskan waktu berbagi kisah hidup mereka. Matahari senja menyinari wajah-wajah mereka yang penuh antusiasme dan keletihan. Kretcha, dengan senyum lembutnya, memulai ceritanya. "Balai, tahu nggak? Kadang aku merasa hidup ini seperti berjalan di atas benang tipis. Aku punya dua kakak laki-laki yang luar biasa—satu dokter bedah di Jerman, yang satunya arsitek di Italia. Orang tua kami punya ekspektasi yang begitu tinggi pada anak-anaknya. Mereka ingin kami semua sukses. Ayah dulu hanya seorang supir taksi, dan ibu berjualan sayur di pasar. Mereka miskin, tapi berhasil mendidik kami dengan disiplin militer."
Balai mendengarkan dengan seksama, seperti biasanya. "Itu pasti berat buat kamu," ujarnya penuh perhatian.
Kretcha mengangguk, air matanya hampir jatuh. "Aku selalu merasa mereka tidak adil. Kakak-kakakku suka dengan pekerjaan mereka, tapi aku tidak suka IPA. Dulu ada stigma kalau IPS itu orang bodoh, jadi aku terpaksa masuk IPA waktu SMA dan memilih ilmu komputer karena katanya gampang cari kerja."
Balai tersenyum pahit. "Aku paham perasaanmu. Orang tuaku juga sangat keras dalam pendidikan. Mereka professor, dan ingin aku juga jadi professor. Namaku saja, Balai Pustaka, diberikan supaya aku punya banyak pengetahuan. Tapi, aku sering dibully karena nama itu. Mereka panggil aku pembawa bala."
Kretcha tertawa kecil, menghibur Balai. "Kamu tahu, Balai? Kamu bukan pembawa bala. Kamu pembawa bala bagi mereka yang bodoh, karena kamu pintar sekali."
Balai tersenyum, merasa sedikit terhibur. "Makasih, Kretcha. Tapi dulu aku sampai sengaja kasih jawaban yang salah ke teman-teman yang minta contekan, karena sudah nggak tahan dibully."
Kretcha terkagum. "Kamu punya hati lembut tapi mental baja, Balai. Kamu hebat."
Mereka tertawa bersama, menyadari betapa uniknya persahabatan mereka. "Aku pernah merasa sangat sendiri di hidup ini," ujar Balai pelan. "Tapi sejak ketemu kamu, semuanya terasa lebih mudah."
Kretcha meraih tangan Balai, menggenggamnya erat. "Kita sama-sama di negeri asing ini, Balai. Kita bisa melalui semua ini bersama-sama."
Senja semakin larut, kafe itu mulai sepi. Mereka memesan pasta dan menaburinya dengan BonCabe yang Kretcha bawa dari Indonesia. Saat mereka makan, obrolan mereka semakin dalam. Kretcha membuka diri tentang mimpi-mimpinya. "Aku selalu ingin menjadi penulis novel, Balai. Tapi orang tuaku selalu bilang itu tidak realistis."
Balai menatap Kretcha dengan penuh keyakinan. "Kamu punya bakat, Kretcha. Aku bisa melihat itu dari cara kamu bercerita. Jangan pernah menyerah pada mimpimu."
Kretcha tersenyum lebar, hatinya terasa ringan. "Makasih, Balai. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."
Balai tertawa kecil. "Itulah gunanya sahabat, kan?"