Malam itu sunyi. Kesunyian yang begitu mencekam, seakan alam pun menolak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya ada suara jarum jam yang berdetak pelan, seperti mengukur waktu yang terasa lambat berjalan. Di luar, angin malam berdesir pelan, menggoyangkan ranting-ranting pohon yang kini meranggas, seakan turut merasakan beban yang tertanam di hati Kretcha.
Mereka harus berhemat. Uang kiriman bulanan dari orang tua mereka semakin menipis, seperti pasir yang perlahan-lahan terbuang di antara jari. Keadaan itu membuat Kretcha dan Balai harus menahan diri dalam banyak hal. Makan seadanya, hiburan pun sekadar menonton TV di apartemen yang sempit. Tidak ada lagi akhir pekan dengan jalan-jalan santai di mal atau makan di kafe favorit mereka. Kehidupan menjadi begitu terbatas, bahkan napas pun terasa sesak di rongga dada.
Kretcha terjaga di tengah malam, dengan air mata yang diam-diam mengalir membasahi pipinya. Tetesan itu terasa hangat di kulitnya, seakan mengingatkan betapa sakitnya luka yang ia coba sembunyikan selama ini. Setiap malam, ia selalu mencoba memendam semua kesedihan, semua ketakutan, dan semua trauma yang membayanginya sejak lama. Bahkan dari Balai, sahabatnya yang sudah seperti keluarga baginya, ia tetap memilih untuk menutup rapat-rapat beban hatinya.
Kretcha duduk di tepi tempat tidurnya, menatap lurus ke depan, tetapi pandangannya kosong. Bayangan masa lalu kembali datang, menghantui setiap pikirannya seperti monster yang tak pernah tidur. Trauma yang tak kunjung hilang, hanya tertutupi oleh senyum yang dipaksakan setiap hari. Dia merasa tersesat, berada di antara dunia nyata dan masa lalu yang mengerikan, terjebak di tengah kegelapan yang tak berujung.
Jam menunjukkan pukul 3:45 pagi. Beberapa menit lagi fajar akan menyingsing, namun malam masih pekat, dan kesunyian masih mendominasi. Kretcha merasa dadanya semakin sesak. Dia tidak bisa lagi bertahan di kamar itu, di tempat yang penuh kenangan dan rasa sakit yang dia simpan sendiri.
Menjelang subuh, tepat pukul 4, Kretcha memutuskan untuk keluar. Dia berpikir bahwa udara pagi yang segar mungkin bisa memberikan ketenangan, bisa memberikan ruang bagi pikirannya yang penuh sesak. Dia mengenakan jaket tipis, tanpa ragu menyambar ponsel dan beberapa lembar uang dari meja, kemudian keluar dari kamar tanpa membangunkan Balai.
Langit masih gelap, tetapi Kretcha tetap memutuskan untuk lari pagi. Sepanjang perjalanan, dia berlari tanpa tujuan pasti. Udara pagi yang dingin menyapa kulitnya, membuat setiap tarikan napas terasa tajam. Jalanan yang biasanya ramai kini sepi, hanya ada dirinya dan bayangan pohon-pohon di sepanjang jalan.
Di tengah larinya, Kretcha menemukan sebuah tempat yang sangat sepi, sebuah taman kecil di pinggir jalan. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya angin pagi yang berembus perlahan, menyapu rambutnya yang terurai. Kretcha berhenti sejenak, menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang terus bergemuruh.
"Butuh udara segar dan ketenangan," gumamnya pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar.