Balai dan Kretcha terus sibuk dengan Papillon, organisasi pers kampus yang memperkaya pengalaman mereka di Prancis. Mereka kini semakin mahir membaca dan menulis dalam bahasa Prancis, dan kehidupan tampak lebih cerah meskipun masalah tetap ada.
Suatu sore yang cerah, di bawah bayang-bayang pohon di taman kampus, Balai dan Kretcha menemukan Purwa duduk sendirian, matanya menerawang jauh seakan ada beban berat yang menghimpitnya. Mereka menghampirinya, dan setelah beberapa saat, Purwa pun membuka diri tentang kesulitan finansial yang sedang dialaminya.
"Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," kata Purwa sambil mengusap air mata yang hampir jatuh. "Uang beasiswa ku sudah habis, dan uang bulan ini sudah telat tiga minggu. Aku tidak bisa terus seperti ini."
Balai dan Kretcha saling berpandangan. Mereka ingin sekali membantu, namun tahu Purwa adalah seorang yang sangat mandiri dan tidak suka meminjam uang. Kretcha menggelengkan kepala, seolah memahami keengganan Purwa.
"Aku mengerti, Purwa," kata Kretcha lembut. "Tapi mungkin kita bisa mencari solusi lain."
Balai mengangguk setuju. "Kamu tahu, dengan visa pelajar, kita bisa bekerja 20 jam per minggu. Kenapa kamu tidak mencoba melamar pekerjaan paruh waktu?"
Purwa tersenyum tipis, sebuah senyuman yang penuh dengan rasa syukur dan harapan baru. "Baiklah, aku akan mencobanya."