3 Titisan Adorno

Kirana Aisyah
Chapter #10

Fantasi Foucault

Kretcha, Balai, dan Purwa memasuki ruangan kelas untuk pertemuan kedua teori kritis yang dipimpin oleh Ryo. Mereka telah mendengar bahwa hari ini Ryo akan membahas Michel Foucault, seorang pemikir yang mereka mulai kenali dari pertemuan sebelumnya. Ruangan tersebut penuh dengan peserta yang tampak antusias, sama seperti mereka.

Ryo berdiri di depan kelas dengan senyum penuh semangat. "Selamat datang kembali semua. Hari ini kita akan membahas Michel Foucault, terutama pandangannya tentang bahasa dan kekuasaan. Foucault percaya bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat untuk mengontrol dan mendominasi. Bahasa adalah medium yang digunakan oleh kekuasaan untuk menciptakan realitas dan mengatur bagaimana kita memahami dunia."

Ryo melanjutkan dengan menunjukkan beberapa slide yang menampilkan kutipan-kutipan Foucault. "Foucault melihat bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, melainkan sesuatu yang tersebar di seluruh masyarakat melalui institusi, praktik, dan wacana. Contohnya, institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara menggunakan bahasa untuk mengatur dan mengontrol individu."

Dia melangkah lebih dekat ke kelas, suaranya lebih intens. "Bahasa menciptakan kategori seperti 'normal' dan 'abnormal', yang digunakan untuk menilai dan mengontrol perilaku. Dalam skripsi saya, saya meneliti bagaimana bahasa dan budaya kapitalisme melanggengkan kekuasaan ekonomi dan sosial. Kapitalisme menggunakan bahasa iklan dan media untuk menciptakan kebutuhan palsu dan mempromosikan konsumsi tanpa henti."

Tiba-tiba, seorang perempuan Amerika bernama Denise mengangkat tangan dengan cepat. "Ryo, saya tidak setuju dengan semua ini. Teori kritis dan Foucault ini hanyalah masturbasi intelektual. Mereka tidak memberikan kontribusi nyata pada dunia. Kapitalisme mungkin tidak sempurna, tetapi ini adalah sistem terbaik yang kita miliki. Lihat saja kemajuan ekonomi dan teknologi yang dihasilkan!"

Ryo mengangguk, mencoba menenangkan suasana. "Denise, saya menghargai pendapat Anda. Namun, saya rasa Anda perlu memahami bahwa teori kritis bukan hanya tentang kritik. Ini tentang membuka mata kita terhadap ketidakadilan dan menawarkan cara untuk memahami dan mengubah dunia."

Denise menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak, Ryo. Teori kritis hanyalah omong kosong. Kalian semua hanya berbicara tentang masalah tanpa memberikan solusi konkret. Kapitalisme telah membawa jutaan orang keluar dari kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup."

Ryo tersenyum tipis, namun matanya tampak tegas. "Denise, Anda telah dicuci otak oleh kapitalisme Amerika. Sistem ini mungkin telah membawa kemajuan material, tetapi pada biaya apa? Kesenjangan sosial yang semakin lebar, eksploitasi tenaga kerja, dan perusakan lingkungan. Kapitalisme hanya peduli pada keuntungan, bukan kesejahteraan manusia."

Perdebatan semakin memanas, hingga akhirnya Denise berdiri dan dengan marah meninggalkan kelas. "Saya tidak akan membuang waktu lagi untuk mendengarkan omong kosong ini!" serunya sebelum menutup pintu dengan keras.

Setelah ketegangan mereda, Purwa mengangkat tangan. "Ryo, saya punya pertanyaan serius. Sistem ekonomi sekarang, kapitalisme, memang banyak masalah. Tapi, ini adalah sistem yang terbaik di antara yang terburuk. Memangnya teori kritis, termasuk Foucault, bisa memecahkan masalah real di dunia ini seperti kemiskinan, pendidikan, dan lain-lain?"

Ryo terdiam sejenak, merenung. "Itu pertanyaan yang sangat bagus, Purwa. Teori kritis memang memiliki kelemahan, terutama dalam hal memberikan solusi praktis. Namun, penting untuk diingat bahwa memahami masalah adalah langkah pertama untuk menemukan solusi. Kita perlu kritis terhadap sistem yang ada dan terus mencari cara untuk memperbaikinya."

Purwa mengangguk mengerti, dan Ryo melanjutkan kelas dengan lebih tenang. Namun, di balik pembawaannya yang tenang, ia merasa kagum dengan kecerdasan dan keberanian Purwa.

Setelah kelas selesai, Ryo mendekati Purwa, Kretcha, dan Balai. "Purwa, pertanyaanmu tadi sangat bagus. Bagaimana kalau kita lanjutkan diskusi ini? Mungkin dengan makan malam? Aku ingin mendengar lebih banyak tentang pandanganmu."

Purwa terkejut dan sedikit ragu. "Ah, tidak perlu, Ryo. Itu tadi hanya pertanyaan biasa."

Namun, Kretcha dan Balai berbisik di telinganya. "Terima saja, Purwa. Ini kesempatan bagus."

Lihat selengkapnya