Setelah kencan romantis dengan Ryo, Purwa tidak bisa menahan perasaan senangnya. Di pagi yang cerah, ia duduk di balkon apartemen, menatap langit Paris sambil menceritakan pengalamannya kepada Kretcha dan Balai.
"Ryo benar-benar luar biasa," kata Purwa dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan. "Dia idealis, penuh semangat, dan kita berdua punya latar belakang yang mirip. Sama-sama berasal dari keluarga yang tidak mampu, tapi punya semangat juang yang tinggi."
Kretcha tersenyum mendengar cerita Purwa. "Ryo memang terlihat seperti orang yang punya prinsip kuat. Dia bahkan memberimu buku-buku untuk dibaca. Itu menunjukkan betapa dia menghargaimu."
Purwa mengangguk, matanya berbinar saat dia mengangkat dua buku yang diberikan Ryo, "Discipline and Punish" karya Foucault dan "The Culture Industry" karya Adorno. "Buku-buku ini membuka mataku lebih luas lagi. Ryo mengatakan bahwa kita harus selalu kritis terhadap segala sesuatu, dan buku-buku ini memberikan perspektif yang sangat berbeda."
Namun, Balai, yang dikenal sebagai orang yang berhati-hati, terlihat lebih serius. "Purwa, aku paham kalau kamu sangat suka Ryo. Tapi ingat, dia adalah orang yang sangat idealis. Orang seperti itu bisa sangat keras kepala tentang pandangan mereka. Kalau kamu pacaran sama dia, dan ternyata kalian tidak setuju dalam suatu hal penting, itu bisa menimbulkan konflik."
Purwa merenung mendengar kata-kata Balai. "Kamu benar, Balai. Mungkin idealisme Ryo bisa menjadi sumber konflik nantinya. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal kalau dia sangat inspiratif."
Lima hari kemudian, Purwa terkejut ketika mengetahui bahwa Ryo memimpin demonstrasi besar di Sorbonne. Demonstrasi itu menuntut pemecatan seorang dosen, Paul, yang telah mem-bully mahasiswa secara fisik dan verbal. Purwa, yang tidak diberitahu tentang rencana ini, merasa marah dan kecewa.
Di tengah keramaian demonstrasi, Purwa mendekati Ryo yang sedang berorasi dengan megafon. "Ryo, kenapa kamu tidak memberitahuku soal ini? Aku pikir kita sudah sangat dekat!"
Ryo yang sedang terbakar semangat, menjawab dengan nada marah. "Purwa, ini adalah hal yang harus dilakukan! Aku tahu kalau aku cerita, kamu pasti akan menolaknya. Ini demi kebenaran!"
Purwa merasa terluka dan kecewa. "Jadi, kamu tidak mempercayai aku? Kita bisa berdiskusi dan mencari jalan tengah. Kamu tidak harus bertindak sendiri!"
Ryo mengeraskan suaranya. "Ini bukan tentang kepercayaan, Purwa! Ini tentang bertindak untuk sesuatu yang benar. Dosen Paul telah menyiksa mahasiswa! Apa kamu mau itu terus terjadi?"
Purwa menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Ini bukan hanya tentang demonstrasi, Ryo. Ini tentang bagaimana kamu memperlakukanku. Aku merasa diabaikan dan tidak dihargai."
Ryo terdiam sejenak, tetapi amarahnya masih menguasai dirinya. "Purwa, aku melakukan ini untuk kita semua! Kamu harus mengerti itu!"
Purwa tidak bisa menahan air matanya. "Aku mengerti, tapi aku tidak bisa menerima bahwa kamu memutuskan sesuatu yang besar seperti ini tanpa melibatkanku. Aku pikir kamu menghormatiku lebih dari ini."