3 Titisan Adorno

Kirana Aisyah
Chapter #12

Krisis Eksistensi

Kretcha duduk di tepi sungai Seine, menatap air yang mengalir dengan pandangan kosong. Di tangannya terdapat sebuah buku sastra Indonesia yang belum sempat ia baca. Pandangannya tertuju ke depan, tapi pikirannya melayang jauh, terperangkap dalam kebingungan dan ketidakpastian.

Kretcha merasakan kekosongan yang dalam dalam dirinya. Dia merasa terjebak dalam jurusan ilmu komputer yang tidak pernah dia inginkan. Setiap hari, dia berhadapan dengan kode-kode program yang terasa asing dan dingin. "Kenapa aku di sini?" pikirnya. "Mengapa aku harus belajar sesuatu yang sama sekali tidak aku sukai?"

Pikiran Kretcha terus bergelut dengan kenyataan bahwa teknologi, yang seharusnya mempermudah hidup, kini lebih sering terasa sebagai ancaman. Dia memikirkan adiksi yang disebabkan oleh media sosial, bagaimana teknologi menciptakan polarisasi, dan bagaimana echo chamber memperparah ekstremisme. "Apakah ini dunia yang aku inginkan?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Dunia yang terfragmentasi oleh layar, penuh dengan kebisingan dan konflik?"

Kretcha merasa semakin terasing dari dunia yang ia bayangkan sebagai seorang penulis. Impiannya untuk menulis sastra, untuk mengeksplorasi kemanusiaan melalui kata-kata, terasa semakin jauh. "Aku benci ini," gumamnya. "Aku benci teknologi yang hanya membuat kita semakin terpisah. Aku ingin kembali ke hal yang nyata, yang humanis."

Walaupun Papillon telah memberikan wadah baginya untuk menulis ekonomi dan politik, tapi di hatinya yang terdalam, dia ingin menulis buku bacaaan bermutu untuk generasi muda Indonesia.

Di tempat magangnya, Balai duduk sendirian di kantornya yang sepi. Ia merasa terganggu oleh percakapan terakhirnya dengan manajernya yang sangat idealis dan anti terhadap industri minyak dan batu bara. Balai memahami pentingnya menjaga lingkungan, tetapi ia juga menyadari bahwa idealisme yang terlalu kaku bisa menjadi penghalang untuk solusi yang pragmatis.

"Apakah aku salah jika aku tidak sepenuhnya setuju dengan manajerku?" Balai bertanya pada dirinya sendiri. "Apakah aku munafik jika aku percaya bahwa kita perlu transisi bertahap daripada perubahan radikal?"

Lihat selengkapnya