Setelah mengalami krisis eksistensi masing-masing, Kretcha, Balai, Purwa, dan Ryo semakin jarang berkumpul. Mereka terjebak dalam pemikiran mereka sendiri, mencoba memahami makna hidup dan mencari jalan keluar dari kebingungan yang mereka rasakan. Hari-hari terasa berat dan sepi, seolah-olah mereka hanyut dalam aliran waktu tanpa arah yang jelas.
Kretcha menghabiskan waktunya menulis jurnal tentang pengalamannya dan kegelisahannya terhadap teknologi. Balai sibuk dengan pekerjaannya sebagai content writer, meskipun ia sering berselisih dengan manajernya yang sangat idealis. Purwa tenggelam dalam membaca buku-buku feminisme dan mencoba memahami posisinya dalam dunia yang kompleks ini. Ryo, di sisi lain, menghabiskan waktunya memimpin demonstrasi kecil dan memberikan kelas-kelas teori kritis di kampus.
Suatu hari, Ryo memutuskan untuk mengadakan kelas lagi, kali ini membahas teori Adorno secara mendalam. Di ruangan yang penuh dengan mahasiswa yang antusias, Ryo berdiri di depan kelas dengan aura serius. Di tangannya ada buku "The Culture Industry" karya Adorno.
"Selamat datang, teman-teman," Ryo memulai. "Hari ini kita akan membahas pemikiran Theodor Adorno, salah satu pemikir terbesar dari Mazhab Frankfurt. Adorno sangat kritis terhadap industri budaya. Dia percaya bahwa industri budaya, yang mencakup film, musik, dan media massa, telah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan kapitalis. Industri ini menciptakan kebutuhan palsu dan menjual ilusi kebahagiaan, sementara sebenarnya hanya memperkuat status quo."
Ryo melanjutkan dengan suara penuh keyakinan, "Adorno mengkritik bagaimana budaya populer telah diubah menjadi komoditas, yang dikemas dan dijual kepada massa. Ini membuat kita semua menjadi konsumen pasif yang menerima pesan-pesan tanpa mempertanyakan. Dia percaya bahwa seni sejati harus bisa membebaskan pikiran kita, bukan mengikatnya dalam pola pikir yang sama."
Di tengah penjelasan Ryo, seorang murid dari Jerman mengangkat tangan. Wajahnya tampak bersemangat namun tegas. "Saya tidak setuju dengan pandangan Adorno," katanya dengan aksen Jerman yang kental. "Saya bekerja di Netflix, dan saya percaya bahwa media juga bisa menjadi sarana pembelajaran dan pemberdayaan. Tidak semua media itu buruk atau hanya sekedar hiburan yang dangkal."
Ryo menatap murid tersebut dengan penuh minat. "Apa yang membuatmu berpikir demikian? Adorno dengan jelas menunjukkan bagaimana industri budaya menciptakan kesadaran palsu dan memanipulasi kita."
Orang Jerman itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Hans, menjawab dengan nada yang semakin tegas. "Adorno terlalu pesimis. Dia tidak melihat potensi media untuk menjadi platform bagi suara-suara yang terpinggirkan. Netflix, misalnya, memberikan ruang bagi banyak cerita dari berbagai belahan dunia, yang tidak akan pernah bisa diakses tanpa platform seperti itu."
Debat semakin memanas. "Tetapi bagaimana dengan homogenisasi budaya?" Ryo bertanya. "Apakah tidak ada risiko bahwa dalam upaya untuk menjual konten kepada audiens global, kita kehilangan keragaman budaya yang sebenarnya?"
Hans mengangguk, tapi kemudian menjawab, "Memang ada risiko itu, tapi itu bukan alasan untuk sepenuhnya menolak media. Kita harus menggunakan media dengan bijak, bukan mengutuknya. Adorno tidak memberikan solusi, hanya kritik."