Di sebuah taman kampus yang asri, dikelilingi pepohonan rindang dan rerumputan hijau, Purwa, Kretcha, dan Balai duduk di atas tikar piknik. Matahari sore menyinari mereka dengan hangat, menciptakan suasana yang nyaman dan intim. Ini adalah tempat yang sempurna untuk berbagi cerita dan membicarakan perasaan yang selama ini terpendam.
Purwa membuka percakapan sambil membuka kotak makanan yang mereka bawa. "Senang akhirnya bisa piknik seperti ini lagi. Kita sudah lama tidak berkumpul, terutama sejak aku dan Ryo lebih sering bersama."
Kretcha dan Balai mengangguk, sambil mengambil makanan ringan yang disajikan Purwa. "Kami juga merindukan saat-saat seperti ini," kata Kretcha. "Tapi kami tahu kalian berdua sedang menikmati waktu bersama. Jadi, bagaimana dengan kalian? Apakah semuanya berjalan lancar?"
Purwa tersenyum tipis. "Ya, semuanya berjalan baik. Tapi ada beberapa hal yang ingin aku ceritakan. Ryo selalu memperlakukan aku seperti seorang putri, yang aku sangat hargai. Namun, kadang aku merasa ada dinding yang dia bangun antara kami."
Balai mengangkat alisnya. "Dinding? Maksudnya?"
Purwa mengangguk. "Ya, maksudku, dia pernah bilang bahwa dia merasa seperti 'lone wolf' dan tidak pernah berpikir untuk pacaran sebelum bertemu denganku. Katanya aku berbeda, tapi tetap saja, ada bagian dari dirinya yang sepertinya tidak bisa aku jangkau."
Kretcha menatap Purwa dengan penuh simpati. "Mungkin dia butuh waktu untuk lebih terbuka. Tidak semua orang mudah berbagi perasaan terdalam mereka."
Balai menambahkan, "Benar. Mungkin kamu bisa bicara dengannya tentang bagaimana perasaanmu. Kadang-kadang, kejujuran bisa membuka jalan untuk lebih memahami satu sama lain."
Purwa tersenyum, merasa lega bisa berbagi perasaannya. "Kalian benar. Aku harus berani berbicara jujur dengannya."
Setelah Purwa menyampaikan perasaannya, giliran Kretcha dan Balai untuk berbicara. Kretcha memulai, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Jadi, ada laki-laki di jurusan kita, namanya Adonis. Kami sering berdiskusi tentang berbagai topik, termasuk teori evolusi, dan aku merasa ada koneksi di antara kami. Tapi aku takut untuk mengungkapkan perasaanku."
Purwa tersenyum lembut. "Adonis? Nama yang kuat. Dan kamu tahu, tidak ada yang salah dengan perempuan yang mengambil langkah pertama. Aku baru saja membaca buku 'The Feminine Mystique' karya Betty Friedan. Dia mengatakan bahwa perempuan memiliki hak untuk menjadi aktif dalam hubungan."
Kretcha tersenyum malu-malu. "Aku tahu, tapi tetap saja rasanya menakutkan."
Balai, yang mendengarkan dengan penuh minat, akhirnya berbicara. "Aku juga merasakan hal yang sama dengan Dony. Kami sudah mulai dekat sejak di Twitter. Tapi, aku juga takut jika aku terlalu maju, dia mungkin tidak merasakan hal yang sama."
Purwa tertawa kecil. "Kalian berdua harus tahu bahwa tidak ada salahnya untuk mengambil inisiatif. Tarik ulur itu bagian dari permainan. Tunjukkan minat, tapi juga biarkan mereka menunjukkan minat mereka. Kalau responnya positif, berarti kalian berada di jalur yang benar."
Kretcha mengangguk. "Aku pikir aku harus mencoba lebih terbuka dengan Adonis. Dia selalu sabar mendengarkan, dan aku merasa dia adalah orang yang bisa diajak berbicara tentang apapun."
Balai, yang tampak lebih percaya diri, berkata, "Aku akan mencoba berbicara langsung tentang perasaanku dengan Dony. Mungkin mengajaknya keluar, bukan hanya di media sosial."
Purwa tersenyum lebar. "Bagus! Lakukan itu. Kadang-kadang, langkah kecil bisa membawa perubahan besar."