Di tengah kepenatan mengerjakan skripsi, Kretcha, Balai, Purwa, dan Ryo merasa perlu melarikan diri sejenak dari rutinitas yang menjemukan. Mereka memutuskan untuk bertemu di kafe favorit mereka, yang sering menjadi tempat pelarian sementara dari tekanan akademis.
"Kenapa tidak kita lakukan sesuatu yang lain? Proyek bersama, mungkin?" usul Kretcha sambil mengaduk kopi.
"Seperti apa?" tanya Purwa, selalu penasaran.
"Aku berpikir, kita semua belajar teori kritis dalam berbagai bentuk, kan?" kata Ryo. "Bagaimana kalau kita buat platform digital untuk membahas isu-isu sosial dan politik menggunakan perspektif teori kritis? Bisa dalam bentuk blog, podcast, atau bahkan video."
Balai yang biasanya lebih pendiam, angkat bicara, "Ide bagus, tapi kita harus punya struktur yang jelas. Bagaimana dengan pembagian tugas?"
Kretcha tersenyum penuh semangat. "Aku bisa menangani bagian kreatif dan desain. Ide-ide banyak, tapi mungkin butuh bantuan untuk teknisnya."
Purwa menambahkan, "Aku dan Ryo bisa fokus pada konten. Kita punya banyak bahan dari mata kuliah dan bacaan. Plus, kita bisa libatkan perspektif personal untuk membuatnya lebih relevan."
Setelah berdiskusi panjang lebar, mereka sepakat untuk membagi tugas sesuai dengan keahlian masing-masing. Balai akan mengelola logistik dan memastikan semua berjalan sesuai rencana.
Proyek tersebut dimulai dengan semangat dan harapan tinggi. Dalam minggu pertama, semuanya tampak berjalan lancar. Ryo dan Purwa menghasilkan artikel-artikel mendalam, sementara Kretcha sibuk dengan desain visual yang menarik. Balai, dengan sikap disiplin dan metodenya, menjaga agar proyek tetap di jalur yang benar.
Namun, seiring berjalannya waktu, ketegangan mulai muncul. Purwa dan Ryo, yang sangat ambisius dan perfeksionis, mulai merasa frustrasi dengan ritme kerja Kretcha dan Balai.
"Kretcha, desain ini belum selesai juga? Kita sudah hampir dua minggu," kritik Purwa saat rapat mingguan mereka.
Kretcha, yang baru saja selesai meditasi, tersenyum tenang. "Aku masih merapikan beberapa elemen. Aku ingin memastikan semuanya sempurna."
Ryo menyela dengan nada cemas, "Kita tidak punya banyak waktu. Kita butuh hasil, bukan alasan."
Balai mencoba menenangkan suasana. "Guys, kita harus sabar. Setiap orang punya kecepatan kerja yang berbeda."
Namun, Purwa tidak puas dengan jawaban itu. "Masalahnya, kita butuh kecepatan dan ketepatan. Bukan hanya ide-ide yang bagus di awang-awang."
Ketegangan meningkat saat Balai juga mulai kesulitan mematuhi timeline yang mereka buat. "Aku mencoba sebaik mungkin, tapi ini memerlukan waktu lebih lama dari yang aku kira," kata Balai.
Ryo sudah kehilangan kesabaran. "Kita tidak bisa terus-terusan menunggu. Kalau begini terus, proyek ini tidak akan pernah selesai."
Konflik mencapai puncaknya ketika Kretcha terlambat menyerahkan desain untuk ketiga kalinya. Dalam pertemuan yang penuh emosi, Ryo dan Purwa tidak bisa menahan kekesalan mereka.
"Ini sudah keterlaluan, Kretcha," seru Purwa, suaranya meninggi. "Kamu bilang hampir selesai, tapi mana hasilnya?"
Kretcha merasa terpojok, mencoba mempertahankan ketenangannya. "Aku sudah berusaha. Aku butuh sedikit waktu lagi."