Kretcha, Balai, dan Purwa duduk dengan cemas di ruang tunggu rumah sakit, menunggu kabar dari dokter mengenai kondisi Ryo. Wajah Purwa tampak pucat, matanya berkaca-kaca. Kretcha menggenggam tangannya erat, mencoba memberikan kekuatan. Balai, biasanya tenang, tampak cemas, mondar-mandir di ruangan.
Setelah beberapa waktu, dokter keluar dari ruang pemeriksaan, membawa berita yang tidak ingin didengar siapa pun.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Kretcha, suaranya penuh ketegangan.
Dokter menarik napas dalam, matanya penuh simpati. "Ryo didiagnosis dengan tumor otak. Tumornya masih dalam tahap jinak, tetapi perlu penanganan segera untuk mencegahnya berkembang menjadi lebih serius."
Purwa tersentak, menutupi mulutnya dengan tangan, air mata mengalir di pipinya. "Tumor otak?" bisiknya, nyaris tak percaya.
Dokter mengangguk pelan. "Gejala seperti kelelahan ekstrem dan pingsan bisa menjadi tanda awal. Sepertinya Ryo sudah merasakan gejala ini sebelumnya tetapi mungkin tidak menyadari betapa seriusnya."
Balai, dengan suara yang serak, bertanya, "Apa langkah selanjutnya, Dok? Apa yang bisa kita lakukan?"
"Kami akan memulai dengan terapi radiasi dan mungkin kemoterapi untuk mengecilkan tumor," jelas dokter. "Proses ini akan membutuhkan waktu dan ketekunan. Ryo juga perlu menjalani perawatan intensif dan pengawasan ketat. Dengan perawatan yang tepat, ada harapan besar untuk pemulihan."
Setelah dokter pergi, Purwa menangis tersedu-sedu. Kretcha memeluknya erat, mencoba menghiburnya. Balai menepuk punggung Purwa dengan lembut, berusaha memberikan ketenangan.
"Kita harus kuat untuk Ryo," bisik Kretcha, matanya juga berkaca-kaca. "Dia butuh kita sekarang."
Purwa mengangguk, meskipun air mata terus mengalir. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana. Rasanya seperti mimpi buruk."
Balai menambahkan dengan nada tegas namun lembut, "Kita akan melalui ini bersama-sama. Ryo kuat, dan kita juga harus kuat untuk dia."
Setelah beberapa waktu, mereka diizinkan masuk untuk bertemu Ryo. Dia terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat tapi dengan senyuman kecil yang mencoba menyembunyikan rasa sakit. Purwa berjalan mendekat, masih dengan air mata yang belum kering.
"Ryo..." Purwa berbisik, duduk di samping tempat tidurnya dan menggenggam tangannya.
Ryo menatapnya dengan mata yang penuh kasih. "Purwa, aku sudah membuat keputusan," katanya pelan namun tegas. "Tumor ini masih jinak, tapi aku harus menjalani kemoterapi dan perawatan lainnya. Dan aku memutuskan untuk drop out dari Sorbonne dan pulang ke Maluku."
Kretcha dan Balai saling pandang, terkejut mendengar keputusan Ryo. Kretcha mencoba untuk tetap tenang, "Ryo, apakah kamu yakin? Mungkin ada cara lain..."
Ryo menggeleng pelan. "Aku sudah berpikir matang. Aku merasa ini saatnya untuk pulang dan melanjutkan perjuanganku di sana. Aku sudah belajar banyak di Eropa dan sekarang aku siap untuk membawa perubahan di daerahku sendiri."
Purwa menangis lebih keras, hatinya hancur mendengar kata-kata Ryo. "Tapi bagaimana dengan kita? Kita bisa LDR. Kita bisa melaluinya bersama."
Ryo menghela napas panjang, menatap Purwa dengan pandangan penuh kasih sayang. "Purwa, aku sangat mencintaimu, tapi kamu berhak mendapatkan laki-laki yang membuatmu menjadi prioritas nomor satu. Sedangkan aku punya perjuanganku sendiri. Kalau kita terus bersama dan LDR, ini hanya akan menyakitkan kita berdua."