Setelah kembali ke Indonesia, kenyataan tidak selalu seindah impian. Mereka mengirim lamaran ke ratusan perusahaan teknologi, hanya untuk menerima penolakan demi penolakan karena kurang pengalaman.
Mereka bertiga sering berkumpul di kosan mereka, berbagi frustrasi dan keluhan. "Sungguh tidak adil," keluh Purwa suatu malam, setelah menerima penolakan lagi. "Bagaimana kita bisa mendapatkan pengalaman kalau tidak ada yang memberi kita kesempatan?"
Balai mengangguk setuju. "Iya, ini seperti lingkaran setan. Semakin banyak penolakan, semakin kita merasa tidak berharga."
Kretcha, yang biasanya penuh semangat, kali ini hanya diam. Dia juga merasakan beban yang sama, tetapi mencoba menyembunyikannya di balik senyum.
Setelah berbulan-bulan mencari, akhirnya Purwa mendapatkan kabar baik. Dia diterima di Gojek sebagai junior data analyst. Malam itu, dia pulang dengan wajah berseri-seri.
"Aku diterima di Gojek!" serunya, melompat ke dalam kosan. "Akhirnya, ada yang mau memberikan kesempatan!"
Balai dan Kretcha langsung memeluknya. "Selamat, Purwa! Ini berita bagus!" kata Balai, ikut merasa lega.
Kretcha menambahkan, "Kamu layak mendapatkannya. Aku tahu kamu akan melakukan hal-hal hebat di sana."
Namun, beberapa minggu bekerja di Gojek, Purwa mulai merasakan konflik batin. Sistem yang diterapkan perusahaan terhadap para drivernya tampak tidak adil baginya. Ia melihat bagaimana para driver bekerja keras dengan imbalan yang minim dan merasa terganggu dengan itu.
Sementara itu, Balai juga akhirnya mendapat dua tawaran pekerjaan. Salah satu dari Traveloka sebagai software engineer dengan gaji tinggi, dan satu lagi dari sebuah startup baru sebagai content strategist dengan gaji yang lebih rendah.
Balai bimbang dan mencari nasihat dari Kretcha dan Purwa. Mereka duduk di ruang tamu, mendiskusikan pilihan tersebut.