Suatu malam, Balai sedang bersantai di kamar kosannya ketika ia memutuskan untuk membuka WhatsApp group alumni Sorbonne. Seperti biasa, ada obrolan ringan tentang kehidupan setelah kuliah, beberapa lelucon, dan berita-berita terbaru dari teman-teman. Tapi kali ini, sebuah pesan membuat darahnya seakan berhenti mengalir.
“Dengan sangat berat hati, kami mengabarkan bahwa Ryo telah meninggal dunia di rumah sakit karena komplikasi tumor otaknya yang semakin parah. Semoga arwahnya diterima di sisi-Nya.”
Balai merasa dunia seakan runtuh. Dia duduk terpaku, menatap layar ponselnya tanpa bisa bergerak. Perlahan, ia mengumpulkan kekuatan untuk keluar dari kamarnya dan mendekati Kretcha yang sedang duduk di ruang tamu.
"Kretcha..." suaranya gemetar, "Ryo... Ryo telah meninggal."
Kretcha menoleh dengan wajah penuh tanya. "Apa maksudmu, Balai?"
Balai menunjukkan layar ponselnya. "Dia... dia sudah tidak ada lagi. Tumor otaknya semakin parah..."
Kretcha terdiam sejenak, mencerna kata-kata itu. "Tidak... tidak mungkin," bisiknya, matanya mulai berair. "Tidak mungkin..."
Mereka berdua saling berpelukan, air mata mengalir deras di wajah mereka. Isak tangis Kretcha memenuhi ruangan, sementara Balai mencoba menahan tangisannya.
"Kita harus memberi tahu Purwa," kata Kretcha akhirnya, suaranya bergetar.
"Dia masih di kantor, lembur," jawab Balai. "Kita tidak tahu apakah dia sudah melihat grup WhatsApp atau belum."
Mereka menunggu dengan hati yang berat, mencoba mempersiapkan diri untuk memberikan kabar buruk itu kepada Purwa. Beberapa jam kemudian, Purwa akhirnya pulang, wajahnya tampak lelah dan kusut.
"Aku capek banget, lembur terus," keluh Purwa sambil melempar tasnya ke sofa. "Kalian sudah makan? Aku lapar sekali."
Kretcha dan Balai saling bertukar pandang, masing-masing mencoba menemukan cara untuk memberitahu Purwa.
"Purwa, kamu sudah lihat grup WhatsApp alumni Sorbonne?" tanya Kretcha hati-hati.