Di tengah hiruk pikuk Jakarta, Kretcha, Balai, dan Purwa akhirnya menemukan sejenak kedamaian dalam kenangan akan Ryo. Mereka berkumpul di markas Olea, sebuah tempat yang telah menjadi saksi bisu dari perjuangan mereka. Hari ini, mereka berniat untuk mengucapkan terima kasih kepada Olea, sang hacker yang telah menjadi teman dan pelindung mereka selama ini.
"Kami benar-benar berhutang budi padamu, Olea," kata Kretcha dengan tulus, memegang tangan Olea erat. "Tanpa bantuanmu, kami tidak akan bisa mengungkap kebenaran ini."
Olea tersenyum lembut, mata cemerlangnya menyiratkan kebanggaan sekaligus perpisahan. "Senang bisa membantu kalian. Tapi tugasku di Indonesia sudah selesai. Aku adalah petualang, dan masih banyak tempat di dunia yang perlu kujelajahi."
Balai mengangguk, menyadari bahwa perpisahan ini tak terelakkan. "Kami akan merindukanmu, Olea. Terima kasih atas segalanya."
Purwa, yang matanya berkaca-kaca, menambahkan, "Kamu selalu punya tempat di sini. Semoga perjalananmu selalu aman."
Setelah berpamitan dengan penuh haru, Olea melangkah keluar dari markas mereka, siap untuk petualangan barunya. Kretcha, Balai, dan Purwa merasa kehilangan, tetapi juga lebih kuat karena mereka telah melalui begitu banyak hal bersama.
Untuk mengenang Ryo dan semangatnya, mereka memutuskan untuk membuka kelas teori kritis di Indonesia, mirip dengan yang dulu Ryo rintis. Mereka ingin menyebarkan pengetahuan dan kesadaran kritis yang telah Ryo tanamkan dalam diri mereka.
Di saat yang sama, berita tentang perjuangan mereka dan kematian tragis Ryo telah menjadi viral. Media sosial dipenuhi dengan tagar yang menuntut keadilan, dan demonstrasi besar-besaran mulai pecah di Jakarta, dengan ribuan orang turun ke jalan menuntut agar organisasi jahat tersebut diadili. Gelombang kemarahan dan solidaritas itu dengan cepat menyebar ke seluruh negeri, termasuk ke Maluku, daerah asal Ryo. Di sana, orang-orang yang mengenal Ryo sejak kecil berkumpul, menyuarakan tuntutan yang sama, mengingat sosoknya yang begitu menginspirasi.
Di Jakarta, Kretcha, Balai, dan Purwa menyaksikan gelombang perlawanan ini dengan hati yang penuh rasa haru. Mereka tahu bahwa perjuangan mereka telah menyulut semangat di hati banyak orang. Namun, mereka juga menyadari bahwa keberadaan mereka kini berada di ujung tanduk.