“Pak Erie, apakah pembunuhan G30S PKI benar-benar terjadi?” tanya Andi, salah satu muridku, sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Aku tersenyum tipis. “Iya, Andi. Itu adalah salah satu peristiwa kelam dalam sejarah kita. Ada banyak teori dan kontroversi mengenai kejadian tersebut,” jawabku dengan suara tenang, berusaha menyederhanakan materi yang kompleks untuk murid-muridku.
Setelah bel sekolah berbunyi, aku mulai membereskan buku-bukuku dengan cepat. Kelas yang tadinya riuh mulai sepi ketika para siswa berhamburan keluar. Sekolah tempatku mengajar terletak di pusat Jakarta, dikelilingi oleh hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur.
Kehidupanku saat ini cukup sederhana dan teratur. Setelah bercerai dari Feby, aku mengisi hari-hariku dengan mengajar dan membaca buku sejarah. Hubunganku dengan murid-muridku cukup baik. Mereka menghormatiku bukan hanya karena pengetahuanku, tetapi juga karena cara mengajarku yang penuh semangat.
Sambil menatap ke luar jendela kelas, aku teringat kembali pertanyaan Andi. Peristiwa G30S PKI selalu menjadi topik yang sulit. Terlalu banyak misteri dan ketidakpastian yang menyelimutinya. Aku menghela napas panjang, kemudian memutuskan untuk pergi ke ruang guru.
“Pak Erie, ada surat untuk Anda,” sapa Bu Yuni, kolegaku, ketika aku masuk ke ruang guru.
Aku mengambil surat itu dengan rasa penasaran. “Terima kasih, Bu Yuni. Dari siapa ya, kira-kira?” tanyaku sambil membuka amplop cokelat itu.
Ternyata amplop itu berisi tugas menulis dari murid-muridku. Aku memutuskan untuk memeriksanya satu per satu. Esai pertama yang kubaca adalah milik Budi, seorang siswa pendiam yang jarang menonjol di kelas. Namun, isi esainya membuatku terpaku.
“Pak Erie, saya ingin menceritakan tentang keluarga saya yang terbunuh pada tahun 1965,” tulis Budi. “Kakek saya adalah seorang petani di desa kecil. Pada malam itu, sekelompok orang datang dan membunuh mereka semua. Hanya nenek saya yang selamat karena bersembunyi di lumbung padi.”
Darahku mendidih membaca esai itu. Kenangan kelam yang dialami keluarga Budi membuka kembali luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh. Aku menyandarkan tubuhku di kursi, mencoba menenangkan diri.
“Ini lebih dari sekadar tugas sekolah,” gumamku pada diri sendiri. “Ini adalah kisah nyata yang harus diketahui oleh orang banyak.”
Aku memutuskan untuk berbicara dengan Budi keesokan harinya. Pagi itu, setelah bel masuk berbunyi, aku mendekati Budi yang sedang membaca buku di bangkunya.
“Budi, bisa kita bicara sebentar?” tanyaku dengan lembut.
Budi mengangguk dan mengikuti aku keluar kelas. Kami berjalan menuju taman sekolah yang sepi.
“Esaimu sangat menyentuh, Budi. Apakah kamu mau bercerita lebih banyak tentang apa yang terjadi pada keluargamu?” tanyaku dengan nada penuh empati.
Budi menunduk sejenak sebelum mulai bercerita. “Nenek selalu mengatakan bahwa malam itu sangat mencekam. Semua orang di desa takut. Ketika sekelompok pria datang, mereka membawa senjata dan tanpa ampun membunuh siapa saja yang mereka temui. Nenekku selamat karena bersembunyi di lumbung, tapi dia kehilangan suami dan anak-anaknya.”
Aku merasa marah dan sedih mendengar cerita itu. Peristiwa G30S PKI telah merenggut banyak nyawa tak bersalah, dan dampaknya masih terasa hingga kini. Aku merasa harus melakukan sesuatu, lebih dari sekadar mengajar di kelas.
“Budi, terima kasih sudah berbagi cerita ini. Saya akan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang kejadian itu. Mungkin kita bisa belajar dari masa lalu untuk mencegah hal serupa terjadi lagi,” kataku dengan tegas.
Pengalaman akan kepedihan karena perpisahan bukan tidak pernah hinggap dalam hidupku. Suatu hari di masa kecilku, aku pernah kehilangan teman terbaikku.
Dia adalah Ola, anak perempuan dari tetangga rumah kami. Ola yang sudah kuanggap kakakku sendiri, karena aku memang tidak pernah memiliki kakak perempuan. Setiap hari ia menemaniku bermain. Ia mengajariku cara bermain anak laki-laki. Ya, ironis memang, seorang anak laki-laki harus belajar kepada seorang anak perempuan tentang bagaimana bermain layaknya anak laki-laki pada umumnya.
Papaku bertugas di Irian Jaya sebagai ahli pertambangan dan pulang setiap dua bulan. Hal itu membuatku tidak memiliki seorang guru dalam mengajariku bagaimana cara menjadi laki-laki. Justru Ola yang tomboy mengajariku semuanya. Cara bermain bola, bersepeda, bahkan berkelahi, semua kupelajari dari Ola. Ola tidak segan menantang berandalan kampung yang mengganggu kami. Bahkan tak jarang Ola mengajariku tentang pelajaran-pelajaran sekolah. Usianya yang tiga tahun lebih tua dariku tentu membuatnya mudah menguasai pelajaran-pelajaranku. Bahkan untuk pelajaran Bahasa Inggris yang ketika itu belum umum diajarkan di sekolah dasar, juga ia ajari.
Ola mengajariku tenses, grammar, dan banyak lagi. Aku bisa menonton serial televisi berbahasa Inggris di RCTI tanpa melihat teks terjemahan, itu adalah berkat Ola.
Suatu hari di usiaku yang kesepuluh, Ola mengatakan bahwa ia harus pergi mengikuti orangtuanya. Saat ia mengatakannya, aku tidak menganggapnya serius. Kupikir itu hanya salah satu candaannya untuk menggodaku. Kalaupun ia memang serius, maka kupikir kepindahannya baru akan terjadi dalam waktu yang lama.
Ternyata aku salah. Yang kuingat hari itu sepulang sekolah, aku berlari dengan riang ke rumahnya. Namun rumah itu telah kosong. Ibuku memberi tahu bahwa Ola sekeluarga telah pindah. Saat itu aku terdiam, kaget, dan perasaanku hancur. Aku sudah lupa ke mana ia pindah, yang kuingat hanya aku menangis selama berhari-hari.