“Terima kasih atas semua ilmu yang Bapak berikan, saya izin pamit, Pak.” Kataku kepada Ridwan.
“Tidak menginap dulu?” tanya Ridwan.
“Terima kasih, Pak. Mungkin lain kali saya kembali lagi. Ada yang harus saya selesaikan.”
Ridwan mengangguk dan tersenyum. Kami berjabat tangan, lalu aku pun pamit.
Aku berjalan dengan pikiran yang penuh. Diskusi dengan Ridwan justru membuatku semakin pening. Pertanyaan yang harus kujawab kini bertambah banyak. Aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Kemudian aku teringat kepada Ola. Entah di mana dia sekarang. Juga entah bagaimana keadaannya. Apakah ia masih mengingat diriku atau tidak, itu juga pertanyaan besar. Namun saat ini amatlah mudah menemukan seseorang.
Kubuka Facebook dan kuketikkan namanya di kolom pencarian. Untung saja aku masih mengingat nama lengkapnya, yaitu Ola Virgiani. Namun, sejumlah nama Ola Virgiani yang kutemukan bukanlah dirinya. Memang puluhan tahun telah berlalu dan wajah seseorang bisa saja berubah drastis. Mungkin saja orang yang mengenalku di masa kanak-kanak tidak akan mengenaliku jika bertemu diriku saat ini.
Kuperiksa satu demi satu Ola Virgiani yang kutemukan. Tidak, tidak ada satu pun yang cocok dengan Ola-ku. Tidak wajahnya, tidak juga latar belakangnya. Bahkan postingan-postingan mereka pun sangat jauh dari karakter Ola. Ya, karakter memang bisa berubah, tapi aku yakin cukup mengenal Ola. Sejauh-jauhnya karakter Ola berubah, aku pasti masih bisa mengenalinya.
Namun entah kenapa aku sama sekali tidak bisa menemukan Ola-ku. Tapi itu tidak menyurutkan niatku. Pasti ada cara lain untuk menemukannya. Bisa saja ia menggunakan nama lain. Barangkali ia sudah menikah lalu menggunakan nama suami sebagai pengganti nama belakangnya.
Bagaimanapun, aku bingung harus memulai dari mana. Aku tidak mengenal satu pun teman sekelas Ola. Ia dulu bersekolah di tempat berbeda denganku. Jika saja aku tahu nama teman-temannya, maka aku bisa mencarinya dari sana. Seingatku, Ola juga tidak punya saudara kandung. Semasa masih bermain denganku, ia adalah anak tunggal.