30-09-1965

Rizki Ramadhana
Chapter #4

Kejutan

Aku tercekat. Tubuhku langsung terasa kaku, darah seakan tidak mengalir lagi di sana. Semua yang dikatakan ibu Ola benar-benar di luar dugaanku.

“Ya Allah...” hanya itu yang bisa kukatakan.

“Iya, Erie. Beberapa waktu setelah kami pindah ke Jakarta, terjadi kerusuhan. Kamu pasti masih ingat apa yang terjadi di tahun 1998. Saat itu, tepatnya tanggal 13

 Mei, Ola baru pulang sekolah, dan hari itu terjadi kerusuhan di rute jalannya pulang. Dia...”

Aku tersandar lemas. Tidak ada kata-kata yang bisa kuucapkan lagi. Ibu Ola akhirnya terus menceritakan apa yang terjadi. Semua keterangan berikutnya dari ibu Ola hanya membuatku semakin lemas. Cerita-cerita beliau kubiarkan mengalir. Hanya saja tidak akan kubaca sekarang. Nanti saja, setelah aku cukup kuat.

Setelah berbasa-basi beberapa saat, aku mohon pamit dari messenger kepada ibu Ola. “Tante, terima kasih atas informasinya. Saya benar-benar sedih mendengar kabar ini. Semoga Ola tenang di sana.”

“Iya, Erie. Terima kasih juga sudah menghubungi. Jaga diri baik-baik, ya,” jawab ibu Ola dengan nada yang penuh kepedihan.

Aku menutup laptop dan duduk termenung di depan meja. Kenangan-kenangan bersama Ola kembali berputar di benakku. Aku tidak percaya bahwa dia sudah tiada. Bagiku, Ola adalah pahlawan kecil yang selalu ada di sisiku, mengajariku banyak hal tentang hidup. Kehilangannya adalah pukulan berat yang tak pernah kubayangkan.

Aku berjalan ke kamar dan mengambil sebuah kotak tua dari lemari. Di dalamnya, ada foto-foto lama, surat-surat, dan kenang-kenangan lain dari masa kecilku. Aku membuka kotak itu dan menemukan foto aku dan Ola bermain di taman. Kami berdua tersenyum lebar, penuh kebahagiaan. Aku memandang foto itu dengan mata berkaca-kaca, merasakan kembali kehangatan kenangan bersama Ola.

“Ola, maafkan aku karena tidak bisa menemukanmu lebih cepat. Maafkan aku karena tidak tahu apa yang terjadi padamu. Kamu selalu ada di hatiku, sahabat,” bisikku pelan.

Aku menyalakan lilin kecil di sudut kamar, sebagai penghormatan untuk Ola. Cahaya lilin itu berkelap-kelip, seolah-olah menyampaikan pesan dari Ola. Aku duduk di lantai, menatap lilin itu dengan penuh kesedihan.

Kenangan-kenangan bersama Ola terus mengalir di benakku. Aku ingat bagaimana dia mengajarkanku bermain bola, bersepeda, dan berkelahi. Aku ingat tawa riangnya saat kami bermain petak umpet di halaman rumah. Semua kenangan itu begitu hidup, seolah-olah baru terjadi kemarin.

Aku teringat saat-saat ketika Ola membantuku mengerjakan PR. Dia selalu sabar mengajarkanku, meskipun aku seringkali lambat mengerti. Aku juga ingat betapa bangganya dia ketika aku berhasil menonton serial televisi berbahasa Inggris tanpa melihat teks terjemahan. Semua kenangan itu membuatku tersenyum, meskipun air mata mengalir di pipiku.

Malam itu, aku tertidur dengan memeluk foto lama kami. Mimpi-mimpi tentang Ola menghiasi tidurku. Aku melihat kami berlari di taman, bermain bola, dan tertawa bersama. Aku terbangun dengan perasaan campur aduk, antara kesedihan dan kehangatan kenangan.

Hari-hari berikutnya, aku berusaha menerima kenyataan bahwa Ola sudah tiada. Aku terus berkomunikasi dengan ibu Ola, mendengarkan cerita-ceritanya tentang masa-masa terakhir Ola. Setiap cerita memberikan gambaran yang lebih jelas tentang apa yang terjadi pada sahabatku itu.

 

Suatu hari, ibu Ola mengirimkan pesan yang membuatku tersenyum. “Erie, Ola selalu menceritakan tentang kamu. Dia sangat merindukanmu. Dia ingin sekali bertemu lagi denganmu.”

Pesan itu membuat hatiku hangat. Meskipun Ola sudah tiada, aku merasa bahwa dia masih dekat denganku. Kenangan tentangnya akan selalu hidup dalam diriku. Aku berjanji pada diri sendiri untuk menghargai setiap momen dengan orang-orang yang kucintai, karena kita tidak pernah tahu kapan mereka akan pergi.

Pengalaman kehilangan Ola mengajarkanku banyak hal tentang hidup. Aku belajar bahwa perpisahan adalah bagian dari hidup, tetapi kenangan dan pelajaran dari orang-orang yang kita cintai akan selalu hidup dalam hati kita. Aku juga belajar untuk lebih menghargai setiap momen dan lebih memperhatikan orang-orang di sekitarku.

Setiap kali aku merasa sedih atau kesepian, aku mengingat kenangan bersama Ola dan senyumnya yang cerah. Kenangan itu memberiku kekuatan untuk terus maju dan menghadapi segala tantangan hidup. Ola mungkin sudah pergi, tetapi semangat dan pelajarannya akan selalu hidup dalam diriku.

Semua kisah yang terjadi membuatku ingin pergi sejenak dari kehidupan ibukota. Aku pun mengambil cuti cukup lama dan pergi menjauh ke Jawa Barat. Aku pergi ke Bandung, tempatku memiliki sejuta kenangan masa remaja.

Di kota ini aku menempuh pendidikan tinggiku. Suka, duka, susah, senang, tawa, bahkan air mata pernah terjadi di sini. Bandung adalah tempatku lari dari masalah. Meskipun kota ini, tak bisa kupungkiri, pernah menjadi tempat kenangan buruk bagiku.

Di sini aku bisa menenangkan diriku, menatapi kenangan-kenangan yang pernah ada. Di sini juga aku memiliki banyak teman lama.

Salah satunya adalah Ali Hamidi.

Ia adalah salah satu orang aneh yang kukenal, namun cepat akrab denganku. Ali pernah membantuku menyelesaikan skripsi ketika aku kuliah di Bandung. Ketika itu aku mengalami kesulitan dalam mengerjakan skripsiku di teknik mesin. Dosen pembimbingku menyarankan aku untuk menemui kawan lamanya, yang tidak lain adalah Ali Hamidi.

Setelah aku dikenalkan kepadanya oleh dosenku, baru kuketahui bahwa ternyata Ali adalah teman seangkatan dosenku tersebut. Aku juga mendapatkan cerita bahwa semestinya Ali juga bisa melanjutkan sekolah hingga tingkat doktoral karena dosenku sendiri mengakui bahwa Ali adalah seorang jenius.

Tapi Ali bukanlah orang yang bisa diterka. Ia justru memilih keluar dari bangku kuliah, padahal saat itu ia tinggal menyusun skripsi. Hal yang menurut logikaku adalah sesuatu yang sayang untuk dilakukan. Betapa tidak, tinggal skripsi yang harus ia lewati, tapi justru dirinya memilih keluar.

Bagaimana pun juga bagi diriku saat itu yang melewati tingkat demi tingkat bahkan mata kuliah demi mata kuliah dengan penuh perjuangan, mencapai tahap skripsi adalah suatu prestasi. Mungkin setara mencapai babak final Piala Dunia bagi pemain sepakbola. Karena itulah aku merasa heran dan penasaran atas keputusan Ali yang meninggalkan kuliahnya begitu saja saat sudah mencapai tahap skripsi.

“Malas.” Hanya begitu jawabnya saat kutanya.

Saat itu kami telah saling mengenal cukup akrab sehingga aku bisa bertanya hal demikian kepadanya. Jawaban Ali tersebut sebenarnya tidak terlalu banyak menjawab pertanyaanku. Hanya karena malas, ia tidak melanjutkan skripsinya. Sebenarnya aku juga seorang pemalas ketika kuliah, tapi toh aku masih berniat menyelesaikan skripsiku. Karena itu, jawaban Ali sungguh tidak masuk di logikaku.

Tapi ya apa boleh buat, hanya itu jawaban yang ia berikan atas pertanyaanku. Aku memang menyaksikan sendiri karakter Ali selama proses pengerjaan skripsiku yang ia bimbing. Ali adalah orang yang cenderung “semaunya sendiri”. Ia tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang maupun penilaian orang lain atas dirinya.

Ali seperti hidup di dalam dunianya sendiri. Ia melakukan apa pun yang ia mau, dan dirinya seolah merasa tidak perlu peduli atas penilaian masyarakat. Yang penting bagi Ali adalah dirinya tidak minta makan dari orang lain, apa lagi menjadi sampah masyarakat. Prinsip yang sebenarnya sangat kukagumi. Tidak banyak orang yang memiliki pendirian sekeras dan seberani Ali, setidaknya sejauh yang kuamati dalam hidupku.

Tapi walaupun Ali memiliki karakter yang sedemikian rupa, aku telah menyaksikan sendiri kejeniusannya. Bahkan bisa dibilang, dialah yang mengerjakan skripsiku. Karena rencanaku di awal hanya bermaksud meminta saran terkait coil tube yang menjadi topik skripsiku, namun pada perjalanannya justru Ali memberikan perhitungan dan analisis lengkap.

Kalau pun ada yang kulakukan, itu adalah penyusunan draft, penulisan narasi, sedikit tambahan analisis (yang sebenarnya hanya membingkai analisis Ali dengan kalimat-kalimat tambahan), juga penarikan kesimpulan. Selebihnya, harus kuakui, Ali-lah yang mengerjakan teknis skripsiku. Karena itu, aku berutang budi yang sangat besar kepadanya.

Ali sendiri tidak pernah mengizinkanku memanggil dirinya dengan sebutan “Pak”.

“Panggil ‘Kang’ saja, biar saya kedengaran muda,” katanya ketika itu.

Aku memetik buah dari kejeniusan Ali sejak hari pertama kami menjalankan proses pengerjaan skripsiku. Hanya kurang dari sepekan waktu yang kubutuhkan untuk menyelesaikan semua masalah skripsiku setelah kami bertemu. Setelahnya aku langsung kembali ke kampus untuk mengurus semua persyaratan administrasi pendaftaran sidang skripsi.

Dosen pembimbingku tidak meragukan sedikit pun hasil skripsi yang kubawa dari tempat Ali. Ia tentu sudah tahu bagaimana kualitas Ali, karena itu dirinya langsung percaya atas laporan yang kubawa. Jika ada yang ia tambahkan, itu hanya beberapa hal untuk pelengkap. Aku pun langsung melaju ke tahap sidang dan dinyatakan lulus.

Setelah itu, Ali kuundang khusus ke upacara wisudaku. Ia datang dengan berseragamkan batik.

“Terima kasih sudah datang, Kang.” Kataku.

“Selamat, Kawan. Kau pantas mendapatkannya!” jawabnya.

“Saya dapat nilai A untuk skripsi, itu adalah berkat Akang.”

“Saya hanya memfasilitasi, selebihnya itu adalah kerja kerasmu.”

“Main ke rumah, Kang.”

“Oh ya, kabari saja.”

Kami berfoto bersama di hari itu, juga dengan orangtuaku dan Feby. Di sekitar kami para wisudawan dan wisudawati bersukacita berfoto bersama merayakan hari kelulusan mereka. Hari itu adalah hari di masa-masa yang indah.

Sejak hari tersebut, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Ali untuk waktu yang lama. Hingga kini, sepuluh tahun kemudian, aku kembali mengunjungi dirinya.

Masih kuingat dengan jelas bahwa ia membuka sebuah bengkel motor di rumahnya. Tapi ketika kudatangi, bengkel “Hamidi Rezeki” miliknya nampak sudah tutup.

Letak bengkelnya yang berada di Gang Sentral masih dapat kuingat. Meskipun tidak cukup besar, tapi mudah ditemui oleh masyarakat yang berlalu-lalang. Di sekitar bangunan bengkelnya ini terdapat sebuah halaman. Semak-semak di halaman bengkel Ali menandakan bahwa ia tidak pernah peduli akan penampilan tempat ini.

Aku tidak kaget, sejak dulu sudah seperti ini. Para pengunjung yang memintanya memperbaiki kendaraan pun sepertinya tidak pernah ambil pusing.

Pekerjaan Ali selalu selesai dengan memuaskan. Bahkan kendaraan yang sudah diperbaikinya selalu memiliki performa yang lebih hebat dari kendaraan tersebut saat baru dibeli. Oleh karena itulah bengkel Ali selalu ramai. Meskipun demikian, saat ini tidak ada tanda-tanda keberadaan orang di bengkelnya, tempat aku berdiri.

Apakah ia masih tinggal di sini?

Aku sendiri ragu bahwa ia akan meninggalkan tempat kelahirannya ini, seragu diriku akan kesungguhan Ali menutup bengkelnya.

Kucoba mengetuk pintu bengkel yang sekaligus rumahnya. Beberapa ketukan, tidak ada jawaban. Aku hampir menyerah begitu kudengar ada langkah seseorang di dalam rumah. Aku mengurungkan niatku untuk pergi.

Perlahan pintu rumah pun terbuka. Di sanalah dia, Ali, yang masih dapat kukenali walaupun sudah jauh berbeda. Ia dengan wajahnya yang nampak semakin tua dan rambut di kepalanya semakin jarang. Ali nampak lebih kurus, pipinya pun terlihat tirus.

Dari penampilannya sekarang kusimpulkan bahwa bisa jadi ia telah kehilangan sepuluh kilogram bobot tubuhnya dari sejak kami terakhir bertemu. Ali juga nampak jauh lebih tua daripada usia seharusnya. Ia memang seharusnya sudah berumur lima puluhan, tapi orang yang kuhadapi saat ini mungkin lebih pantas jika disebut...ayahnya Ali.

“Ahhh... mimpi apa aku semalam, hingga kedatangan seorang kawan lama.” Sambutnya sambil tersenyum lebar.

“Kang Ali, apa kabar?” kataku menyalami dirinya.

Kami pun saling berjabat tangan dengan erat.

“Kayak keliatannya aja, sibuk.” Ia tertawa.

Aku tersenyum menanggapinya. Bagi yang tidak mengenal Ali, tentu akan sulit untuk menangkap nada sarkastik dalam bicaranya. Tapi aku sudah mengenal dirinya dengan sangat baik, walaupun dulu waktu kerja sama yang kami lakukan tidaklah cukup lama.

“Mari, masuk.” Lanjutnya membukakan jalan.

“Terima kasih, Kang.” Jawabku.

“Gimana kabarmu? Lama sekali nggak bertemu, sibuk pasti.” Tanyanya.

“Ya begitulah, Kang.” Jawabku.

“Tinggal di mana sekarang?”

“Semarang, Kang. Sudah lima tahun.”

“Wah, jauh juga, ya. Sudah menetap di sana?”

“Mestinya sih begitu, tapi gagal.”

Lihat selengkapnya