30-09-1965

Rizki Ramadhana
Chapter #5

Sebuah Syarat

Ali tertawa saat kuceritakan apa yang terjadi.

“Ini adalah lumpur dari tahun 1992.” Kataku sambil menunjuk ke arah sepatu yang kukenakan.

“Luar biasa, bukan? Sebaiknya kau awetkan sepatumu, itu bukti otentik perjalanan waktu.”

Kami tertawa.

“Sejak kapan Akang menjalankan ini?”

“Panjang ceritanya. Suatu saat akan kuceritakan. Tapi ada yang lebih penting dari itu, juga mengapa sebabnya aku senang kau kemari.”

“Memangnya ada apa, Kang?”

“Kau ingat apa yang sering kita bahas, selain perjalanan waktu?”

“Hmmm....” aku mencoba mengingat-ingat.

“Kau pasti ingat, tentang sebuah sejarah kelam di republik ini dan selalu kita perbincangkan.”

“Gerakan tiga puluh September.”

“Tepat.”

Ali adalah seorang Soekarnois. Ia sangat menyayangkan tumbangnya Presiden Soekarno.

Bung Karno baginya seperti seorang dewa. Indonesia di bawah kepemimpinannya, menurut Ali, akan menjadi negara adikuasa. Aku bisa membaca maksudnya menciptakan mesin waktu ini. Kuduga pasti inilah tujuan sebenarnya.

“Kau bayangkan, Indonesia tanpa kejadian itu. Bung Karno tidak akan pernah tumbang! Indonesia akan menjadi adikuasa!” Ali mulai agak meracau bicaranya, namun itu sudah kuduga.

“Sabar, sabar, Kang.” Kataku. “Sekarang apa rencana Akang?”

“Inilah yang kumaksud bahwa aku bersyukur kau datang. Aku mau minta bantuanmu.”

“Bantuan untuk...?”

“Pergilah dengan mesin ini. Pergi ke tahun 1965, cegah tragedi terkutuk itu. Selamatkan Presiden Soekarno!”

“Sebentar...sebentar, Kang. Kenapa harus kita lakukan itu? Dan kenapa saya?”

“Kawan, kau belum sadar hubungan peristiwa itu denganmu?”

“Belum, Kang.”

“Kau sudah lupa siapa kakekmu?”

Mendadak aku terdiam. Darahku serasa berhenti mengalir.

Aku membatin.

Dari mana ia tahu…?

“Kau tentu bertanya-tanya, dari mana aku tahu, bukan?” Ali seperti bisa membaca pikiranku.

Aku mengangguk.

“Aku telah pergi ke tahun 1965, Erie. Dan aku menyaksikan apa yang terjadi kepada kakekmu. Aku tahu bahwa selama ini kau berhasil menutupinya.” Ali mulai bercerita.

Aku masih terdiam.

“Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan,” lanjut Ali. “Aku telah pergi ke masa depan. Aku telah melihat bahwa di masa depan akan ada orang yang bisa menemukan jati dirimu sebenarnya. Ketika itu terjadi, hidupmu akan terancam.”

Aku mulai dapat mencerna ke mana Ali akan mengarahkan pembicaraan ini.

“Berapa orang yang dihabisi oleh kakekmu, Erie? Belasan? Puluhan?”

Aku tidak tahu persis, karena itu aku masih terdiam.

Ali pun menggeleng.

“Seribu orang, itu jumlah paling sedikit.” Katanya.

Darahku seperti membeku.

“Di masa depan, ketika ada keturunan dari orang-orang itu yang mengetahui bahwa kau adalah cucu dari pembantai mereka, maka hidupmu akan terancam, selamanya.”

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Satu-satunya cara mencegahnya adalah, kau harus mencegah peristiwa malam laknat 30 September itu.”

Lihat selengkapnya