30-09-1965

Rizki Ramadhana
Chapter #6

Jakarta, 13 Mei 1998

Suasana Ibukota terlihat mulai tidak terkendali. Asap yang aku tahu sebentar lagi akan menimbulkan awan gelap telah membubung dari beberapa titik. Kulihat ada sejumlah ban yang terbakar, juga kulihat rumah-rumah dilalap api.

Aku bersembunyi di tempat yang kurasa cukup aman. Bagaimana pun aku sudah tahu bahwa aksi bakar ban ini akan berkembang menjadi kerusuhan hebat. Diriku sendiri tidak berharap untuk menghentikannya. Tidak sama sekali, aku tidak memiliki kemampuan untuk itu.

Berulang kali kuingatkan diriku bahwa tujuanku kemari hanya satu, yaitu menyelamatkan Ola.

Ingatanku memanggil kembali percakapanku di Facebook Messenger dengan ibu Ola.

“Ola waktu itu pergi ke Jembatan Lima buat beli walkman yang sudah dia inginkan sejak lama. Kami nggak menyangka akan ada kerusuhan hari itu. Yang jaga toko bilang Ola diseret beberapa orang berwajah sangar. Andai Tante tahu, Tante nggak akan izinkan Ola ke sana.”

Aku diuntungkan penampilanku yang tidak akan mengundang para perusuh untuk menghabisi nyawaku. Jika ada apa-apa, aku tinggal berpura-pura sebagai salah satu perusuh. Aku akan ikut membakar atau merusak apa saja, mereka pasti tidak akan curiga. Toh aku sengaja hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana pendek.

Saat tiba di Jembatan Lima, beberapa penjarah telah melakukan aksinya. Aku mencari-cari toko yang dimaksud ibu Ola. Agar tidak mencurigakan, aku sengaja berlari ke tengah-tengah massa sambil membawa batu yang beberapa kali kupakai untuk berpura-pura seolah diriku hendak melemparkannya.

Tepat seperti dugaanku, tidak ada seorang pun yang curiga kepadaku, bahkan melirik pun tidak. Mereka mengira aku adalah salah satu anggota kelompoknya yang sedang merusuh dan menjarah.

Kucoba agar aktingku semakin meyakinkan dengan berteriak-teriak sambil mengeluarkan umpatan bernada rasis. Walaupun melelahkan, tapi untuk keselamatanku, itu harus kulakukan. Semuanya kukerjakan sambil melihat sekeliling. Puluhan tahun aku tidak bertemu dengannya, sebisa mungkin aku harus bisa menemukan Ola.

Minimal aku harus mengenali wajahnya, itu akan sangat membantu.

Sekitar belasan menit sudah aku berteriak-teriak sambil mengacungkan batu seperti orang gila sambil memperhatikan ke arah sekelilingku, lalu akhirnya tatapanku tertumbuk pada sebuah sudut.

Di sebuah pojokan ada beberapa orang berkumpul.

Ya, beberapa orang, ada satu, dua, tiga....lima!

Lima orang berwajah bengis kulihat sedang menyeret seorang gadis yang meronta!

Seorang gadis berpakaian Sekolah Menengah Atas!

Kudekati arah mereka sambil masih berteriak-teriak seperti orang gila. Semakin dekat, semakin dekat, sambil kucoba mengenali wajah gadis itu.

Jarak kami hanya sekitar sepuluh meter ketika aku melihatnya. Wajah yang dulu sangat kukenal. Wajah berbentuk bulat telur, dengan bando merah muda, dan kulit yang putih.

Ola...

Mereka, orang-orang beringas itu, menyeretnya. Ola berteriak meminta tolong sambil meronta dan mencoba melawan. Tidak ada orang di sekitar mereka yang menyadari. Bahkan mungkin jika mereka menyadari pun, aku yakin tidak akan ada yang mencoba menolong. Mungkin saja mereka akan bergabung dengan orang-orang beringas itu dan ikut menuntaskan aksi bejatnya atas Ola.

Tidak ada yang menyadari, kecuali aku tentunya.

Kuikuti saat mereka menyeret Ola ke dalam gang. Tidak lagi kupedulikan massa yang rusuh di sekitarku. Tidak ada gunanya juga kuperhatikan mereka.

Ola masih meronta memberontak. Orang-orang beringas semakin nampak bernapsu.

Tetap kuawasi hingga mereka masuk ke gang yang sepi. Mereka juga tidak sadar akan keberadaanku, mungkin sudah terlampau dikuasai birahi dan angkara murka.

Sesampai di gang, mereka membaringkan Ola yang masih memberontak.

“Lu pada pegangin, kita gantian!” kata salah satu dari mereka.

“Siaaap! Hahaha!” beberapa dari mereka menyahut.

Saat orang pertama yang akan melakukan aksinya mulai meraih kancing seragam Ola, itulah waktu yang tepat bagiku untuk meletuskannya. Meletuskan pistol pinjaman dari Ali yang sejak tadi kujaga di pinggangku dan kusembunyikan di balik kaus oblong.

“DOR!!!!”

Hanya butuh satu tembakan bagi ahli menembak sepertiku untuk membuat tubuh salah satu orang bejat itu rubuh. Orang-orang bejat lain nampak kaget dan melihat ke arahku. Ola yang nampak syok melihat orang di depannya tewas, beberapa saat kemudian mulai berteriak.

Aku mencoba untuk tetap tenang dan mulai membidik ke arah orang kedua.

“DOR!!!!”

Peluruku meluncur tepat mengenai sasaran.

Orang bejat kedua telah tumbang.

Lihat selengkapnya