30-09-1965

Rizki Ramadhana
Chapter #8

Paradox Yang Semakin Membingungkan

Untunglah esok paginya aku masih mendapatkan tiket kereta api ke Bandung. Telah kuminta Ola menelepon kantorku dan memintakan izin cuti untukku. Menjelang tengah hari aku telah mencapai rumah Ali.

“Hmmm, jadi yang kau tahu adalah 2019 ini bukan lagi Pak Habibie presidennya?” tanya Ali setelah kuceritakan semuanya.

“Ya. Benar.”

Aku diam sejenak usai menjawabnya.

“Kang, apakah Akang pernah mendengar nama Joko Widodo?” lanjutku bertanya.

“Gubernur DKI Jakarta, tentu saja. Ini sudah periode keduanya.” Jawab Ali.

“Oh...”

“Memang di masa versimu dia bukan gubernur DKI?”

“Memang dia pernah menjadi gubernur DKI tapi nggak sampai satu periode. Tahun 2014 dia menjadi presiden.”

“Wah...wah, apa yang terjadi dengan Pak Habibie?”

“Beliau sudah berhenti jadi presiden sejak 1999, lalu digantikan Gus Dur. Kemudian Megawati, SBY dua periode, terakhir Joko Widodo.”

“Waduh, beda sekali ya? Pak Harto bagaimana?”

“Beliau wafat tahun 2008. Sepuluh tahun sebelumnya beliau mundur dari jabatannya sebagai presiden karena situasi negara sudah tidak bisa dikendalikan. Posisinya digantikan Pak Habibie.”

“Benar-benar berbeda.”

“Ya. Apa yang terjadi di masa ini, Kang? Bagaimana Pak Habibie bisa menjadi presiden sampai sekarang?”

“Oke. 1998 terjadi kerusuhan besar, itu mungkin masih sama versinya dengan masamu ‘kan?”

Aku mengangguk.

“13 Mei 1998 menjadi sebuah hari bersejarah karena ada seorang gadis SMA yang nyaris dihabisi oleh sejumlah perusuh, namun ia selamat. Gadis itu berhasil lolos dan menghampiri aparat keamanan dengan baju seragam yang berlumuran darah.”

Aku tercekat.

Gadis itu...Ola yang baru kuselamatkan.

“Informasi tentang gadis itu diteruskan kepada Panglima Besar, yang menanggapinya dengan sangat serius.” Lanjut Ali. “Kejadian yang dialami gadis tersebut membuat seluruh aparat dikerahkan untuk status siaga satu. Ditambah lagi, aparat menemukan lima orang tewas ditembak di sebuah gang. Pelakunya tidak pernah ditemukan, tapi aparat segera mengantisipasi munculnya penembak misterius. Terlebih, penembak misterius kali ini bukan dikendalikan oleh pemerintah. Jadi ia, atau mereka, pasti sangat berbahaya.”

Aku kembali terkejut.

“Kang...penembak misterius itu saya!!!” kataku.

“Apa...???” Ali nampak terperangah.

“Akang ingat kan pernah meminjamkan pistol waktu saya mau pergi ke tahun 1998? Pistol itu yang saya gunakan membunuh orang-orang tersebut!”

“Ya ampun, tapi kenapa kau lakukan itu???”

“Mereka yang akan membunuh Ola, Kang!”

“Waduh...” Ali menepuk keningnya.

Cukup lama kami terdiam.

“Lalu bagaimana keadaan setelah itu, Kang?” tanyaku.

“Sejak tanggal 13 Mei sore, kekuatan penuh dikerahkan untuk menetralisir suasana. Jam malam diberlakukan, media dilarang meliput dan memberitakan, bahkan seluruh stasiun televisi dilarang beroperasi sampai situasi berhasil dikendalikan. Kekuatan penuh dikerahkan untuk meredam kerusuhan hingga daerah-daerah. Tanggal 13 Mei, situasi negara sudah aman. Aparat berhasil melakukan tugasnya.”

Lihat selengkapnya