Ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku berdiri di sebuah jalan kecil yang sepi. Udara terasa berbeda, aroma tanah yang lembap dan suara burung berkicau mengisi udara. Aku menoleh ke sekeliling, mengenali beberapa bangunan tua yang masih berdiri. Ini adalah Jakarta tahun 1965.
Aku berjalan menyusuri jalan, mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru yang sebenarnya adalah masa lalu. Orang-orang berpakaian dengan gaya yang berbeda, kendaraan-kendaraan tua melintas, dan suasana kota terasa lebih tenang dibandingkan Jakarta masa kini.
Di sebuah warung kecil, aku mendengar percakapan antara beberapa orang tua yang sedang menikmati kopi. Mereka membicarakan isu politik dan ketegangan yang semakin memuncak. Mendengarkan percakapan mereka memberikan wawasan tentang situasi sosial dan politik saat itu. Aku duduk di bangku terdekat, mencoba tidak menarik perhatian.
“Pak, ada berita baru tentang gerakan PKI?” tanya seorang pria muda kepada bapak tua yang duduk di sebelahnya.
Bapak tua itu mengangguk pelan. “Iya, katanya mereka semakin kuat. Tapi kita harus waspada, jangan sampai terprovokasi,” jawabnya dengan nada serius.
Percakapan itu membuatku semakin sadar akan betapa gentingnya situasi pada waktu itu. Aku menghabiskan beberapa hari pertama hanya dengan mengamati dan mencatat, memastikan aku memahami dinamika sosial yang ada sebelum mengambil tindakan apa pun.
Kuayunkan langkahku menuju Hotel Indonesia.
Aku bangun di pagi hari dengan sedikit sakit di kepala. Tapi aku harus bangun dan membersihkan diri. Bodohnya, aku lupa membawa pisau cukur. Maka aku harus pergi ke luar dan mencari tempat yang menjual barang tersebut, entah di mana. Aku pun sudah bisa memprediksi bahwa yang kutemukan pasti pisau-pisau cukur besar yang digunakan oleh para tukang cukur. Pada zaman ini belum lazim ditemukan pisau cukur kecil yang dikhususkan untuk mencukur kumis dan janggut.
Tidak ada cara yang mudah untuk menyamarkan ekspresi, terutama jika engkau datang di tahun 1965 lalu menemukan dunia yang selama ini hanya kau baca dan lihat melalui buku-buku serta foto-foto.
Kuakui bahwa Ali telah menciptakan suatu hal yang luar biasa. Terlepas dari ia menyadarinya atau tidak, bagiku Ali adalah seorang jenius.
Hotel Indonesia tampak seperti yang sudah kupelajari dalam sejarah. Ia tidak pernah kehilangan nilai estetikanya. Di sinilah aku menginap selama misiku. Telah kubayar biaya hotel untuk satu tahun lamanya. Petugas hotel heran melihatku membayar dengan uang tunai yang sedemikian banyak. Namun tidak ada peraturan yang melarangku untuk memesan kamar selama satu tahun. Terlebih, hotel ini tidak pernah terisi penuh.
Pada awal tahun 1965 Hotel Indonesia masih dikelola oleh sebuah perusahaan penerbangan milik Amerika Serikat. Hotel ini memiliki sebuah bar yang sama sekali terisolasi dari pencahayaan alami. Sepertinya gaya Skandinavia benar-benar digunakan di sini.
Bar Hotel Indonesia dipenuhi orang-orang asing yang dari obrolannya kusimpulkan bahwa mereka berprofesi sebagai wartawan. Wartawan-wartawan ini membicarakan soal Indonesia yang baru saja mengancam untuk menarik diri dari PBB apabila Federasi Malaysia disahkan. Mereka semua berbicara dalam bahasa Inggris.
“Sukarno masih dengan gayanya, yaitu peci hitam dan seragam militer. Ia menyuruh PBB untuk pergi ke neraka.” Kata seseorang berwajah oriental.
“Aku sedang mengincar wawancara dengan Subandrio, bagaimana pun ia adalah salah satu tokoh penting jika benar Indonesia akan menjalin aliansi dengan Peking.” timpal seorang gadis pirang.
“Kau yakin bisa mendapatkan pernyataan darinya? Ia menteri paling licin di kabinet Sukarno.” Jawab Si Oriental.
“Sukarno semakin dekat dengan PKI. Semua istilah buatannya semakin jelas menunjukkan bahwa dia cenderung ke arah Komunis.” Timpal seorang kulit putih berambut cokelat.
“Hati-hati, Sukarno amat cerdik. Ia pernah memainkan politiknya dan memperdayai Rusia bahkan Amerika untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda.” Si Oriental memperingatkan.
“Aku juga terpikir demikian. Sukarno adalah megalomania, tapi ia juga seorang politisi ulung. Seorang jenius. Sekarang istilah ‘konfrontasi’ bergema di mana-mana, sama seperti ‘NEKOLIM’, ‘OLDEFO’, ‘NEFO’, dan istilah-istilah lainnya.” Timpal Si Rambut Cokelat.
“Orang kulit putih seperti kau pasti langsung dicap ‘NEKOLIM’,” Si Oriental tertawa mengejek.
“Hei, aku ini orang Australia. Seharusnya kalian bangsa Amerika yang berterima kasih kepada kami. Jika bukan karena kami, kalian tidak akan pernah mendapat berita. Paspor kalian sudah ditandai ‘OLDEFOS’!”