Radio Republik Indonesia masih menyiarkan pidato Presiden Soekarno pagi itu. Seperti biasa, ia selalu berapi-api. Kata-katanya sangat membakar semangat rakyat. Tidak hanya yang hadir langsung di lapangan tempatnya berpidato, bahkan aku yang mendengarkannya di radio pun ikut terbakar semangatnya.
"Saudara saudara, musuh kita yang terbesar yang selalu merusakan keselamatan dan kesejahteraan Asia dan Indonesia ialah Amerika dan Inggris. Oleh karena itu, didalam peperangan Asia Timur Raya ini, Maka segenap kita punya tenaga, punya kemauan, punya tekad harus kita tunjukan kepada hancur leburnya Amerika dan Inggris itu.
"Selama kekuasaan dan kekuatan Amerika dan Inggris belum hancur lebur, maka Asia dan Indonesia tidak bisa selamat. Oleh karena itu, semboyan kita sekarang ini ialah hancurkan kekuasaan Amerika dan hancurkan kekuasaan Inggris. Amerika kita setrika! Inggris kita Linggis! Go to hell with your aid!
“Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu!!!”
Dari radio pun terdengar sorak-sorai rakyat menyambut pidato Presiden Soekarno. Mereka rela berdiri berjam-jam untuk itu. Demi mendengarkan orasi orang yang telah memimpin pembebasan negeri ini dari tangan penjajah, apa pun mereka lakukan. Harus diakui bahwa Soekarno telah menciptakan negeri ini. Dengan konsep Marhaenismenya, ia menjadikan para petani sebagai pemilik negaranya. Karena itulah ia dicintai rakyatnya.
Soekarno sendiri memiliki sejumlah julukan lain. Ia dikenal sebagai Gembala Agung bagi Wanita Revolusioner, Pemimpin Besar Para Buruh, serta Komandan Utama Revolusi. Julukan-julukan itu tidak jarang ia gunakan dalam menyebut dirinya sendiri di tengah pidato-pidatonya yang membakar.
Tidak ada yang meragukan kejeniusan Soekarno.
Siapa lagi yang bisa menyatukan wilayah Indonesia yang begitu luas terbentang dari Sabang hingga Merauke?
Tidak ada, kecuali Soekarno.
Usai mendengarkan pidato di radio tersebut, aku sendiri merasa sangat termotivasi. Semangat mengalir di seluruh tubuhku, seiring kebanggaan luar biasa menjadi bagian dari Bangsa Indonesia. Soekarno telah berhasil menanamkan itu, bahkan untuk penjelajah waktu sepertiku.
Aku pun turun dan pergi ke luar hotel untuk menyalurkan energi berlebih yang kudapat dari pidato Soekarno. Kurasakan sekeliling Jakarta begitu panas. Tak jauh dari hotel, aku mencegat sebuah bus dan menaikinya.
Kondektur bus yang kunaiki menagih ongkos dari masing-masing penumpang. Dari seragam yang dipakai si kondektur, aku tahu bahwa mungkin sudah berbulan-bulan dia tidak mencucinya. Debu yang sudah melekat di sana sepertinya tidak akan pernah bisa hilang.
Aku turun di daerah Roxy dan mendapati wajahku tersapu angin yang mengandung debu. Kuhampiri sebuah warung yang ada di sana dan memesan segelas es cingcau. Ibu-ibu yang melayaniku langsung memasukkan cingcau ke dalam gelas seukuran gelas bir Hotel Indonesia. Ia juga menyerut es batangan untuk topping cingcauku. Entah es itu dibuat dari air dari mana, aku tidak begitu mempedulikannya karena saat itu aku sangat haus.
Sambil kuminum cingcauku, kulihat beberapa orang pemuda berjalan cepat-cepat. Mereka nampak begitu semangat. Di tangan mereka ada sejumlah kain, lebih tepatnya bendera berwarna merah.