30-09-1965

Rizki Ramadhana
Chapter #12

Dyah

Jika aku mengatakan bahwa diriku tidak tertarik dengan Dyah, maka bisa engkau pastikan diriku sedang berbohong. Beberapa hari telah kulalui dan Dyah melakukan tugasnya dengan baik. Kami bertemu setiap hari dan ia memberikan semua yang kuminta.

Aku memang sudah menikah dengan Ola. Tapi pernikahan yang telah menghasilkan Sean itu bagiku baru berlangsung selama satu malam. Tidak ada ingatan apa pun tentang perjalanan cinta kami hingga mencapai pelaminan, bahkan membina rumah tangga. Bahkan bagaimana aku bertemu dengan Ola sehingga kami berlanjut menjalin hubungan asmara pun, aku sama sekali tidak tahu.

Jadi kupikir ketertarikanku atas Dyah sama sekali tidak melanggar norma apa pun. Ini adalah ketertarikan normal seorang lelaki yang secara teknis masih lajang kepada seorang perempuan yang juga lajang. Terlepas dari perbedaan zaman asal kami.

Dyah adalah tipikal perempuan yang lahir di zaman revolusi kemerdekaan. Wajahnya alami tanpa tersentuh pulasan. Ia datang untuk bekerja di pagi hari dan pulang pada sore harinya.

Suatu malam ia harus bekerja lembur di hotel karena diadakannya sebuah pesta oleh salah satu petinggi partai politik.

Sebagai tamu hotel, aku bebas berkeliaran di pesta ini. Lagipula tidak ada petugas protokoler. Barangkali panitianya berasumsi siapa pun yang masuk hotel ini pasti bukan orang sembarangan. Tidak akan ada rakyat jelata yang mencuri-curi masuk apalagi membahayakan tamu mereka.

“Kau tampak sangat lelah malam ini.” Kataku sambil menghampiri Dyah.

“Ah, sudah tugas, Pak.” Jawab Dyah.

“Ayo ke luar.”

“Hah?”

“Kubebaskan kau dari tugas menjemukan ini.”

“Bagaimana maksud Bapak?”

“Kau mau mendengarkan ocehan petinggi partai itu semalaman? Ia tidak akan berhenti berbicara sampai subuh tiba.”

Dyah memperhatikan pidato si petinggi partai.

“Tapi, nanti saya dicari...”

“Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa tugasmu menjadi asistenku?”

“Ya, tapi...”

“Sekarang kuminta kau menemaniku ke luar. Itu tugasmu kan?”

Ia perlahan mengangguk.

“Ayo.” Kutarik lengannya pergi sebelum ia sempat berkata apa-apa.

Di lobby hotel, kutemui manajernya.

“Saya minta Dyah menemani saya jalan-jalan malam ini.” Kataku kepadanya.

“Baik Tuan, silakan.” Kata si manajer.

Tentu saja si manajer akan mengabulkan apa pun permintaanku. Mana berani dia menolak permintaan tamu yang telah membayar kontan untuk satu tahun.

Lihat selengkapnya