Bulan Februari telah tiba. Jakarta mengalami musim hujan sehingga setiap kali aku dan Dyah pergi ke luar, kami harus berbekal payung. Aku sengaja hanya membawa satu payung, agar kami bisa berdekatan ketika tetesan air mulai turun dari langit. Sejujurnya aku berharap setiap hari adalah hari hujan.
Kami selalu merapat setiap kali itu terjadi. Entah bagaimana dengan Dyah, tapi aku menikmatinya. Minimal aku yakin dia pasti senang karena pekerjaannya menjadi sepenuhnya berjalan-jalan sepanjang hari.
Kuhabiskan waktu bersamanya menjelajahi Jakarta kuno. Kami berbincang banyak setiap kali melakukannya. Ternyata Dyah sangat peduli akan kondisi bangsa ini, hal yang membuatku semakin mengaguminya. Kami membicarakan Presiden Soekarno, Aidit, PKI, bahkan konfrontasi.
“Bagaimana menurutmu tentang Pak Harto?” tanyaku.
“Pak Harto?” keningnya mengerenyit.
“Ya, Mayjen Soeharto, Pangkostrad.”
“Oh...jarang sekali mendengar nama beliau.”
Aku tersenyum maklum.
Nama Soeharto baru akan terkenal sejak malam 30 September. Saat ini tidak banyak masyarakat yang mengenalnya.
“Mas, apa sebenarnya pekerjaanmu?” tanyanya.
“Aku seorang wartawan.” Jawabku.
“Wah, hebat. Pantas bisa tinggal di hotel.”
Aku tersenyum.
“Tapi, kenapa kau begitu lama tinggal di Hotel Indonesia? Asalmu sendiri dari mana?” tanyanya lagi.
Ah... bagaimana aku menjawabnya?
“Semarang, itu rumah orang tuaku.”
“Hmmm, kamu enggak pulang?”
“Kenapa? Kau ingin aku pulang?”
“Enggak, cuma aneh aja kamu setahun penuh di sini.”
“Aku harus meliput sesuatu sepanjang tahun ini.”
“Tentang konfrontasi?”
“Ya, salah satunya tentang itu.”
Bagaimana menjelaskan kepadanya bahwa di tahun ini akan ada sebuah pergolakan besar yang mempengaruhi jalan hidup Republik Indonesia?
Bulan Februari ini adalah bulan yang semakin mencekam untuk Jakarta. Kota ini meledak karena konfrontasi yang semakin panas. Malam seolah datang begitu cepat di kota ini karena lampu-lampunya yang mati. Aroma bunga kamboja bercampur bensin menghiasi udara kota yang cahayanya temaram.
Mobil-mobil terguling, kaca-kaca kantor pecah dilempari batu-batu amarah. Sejumlah menteri mengungsikan keluarganya ke tempat tersembunyi untuk alasan keamanan. Sejumlah orang ditahan, di antara mereka adalah orang-orang yang diduga berseberangan dengan garis arahan yang dicanangkan PKI. Beberapa menteri mendadak ditangkap dan diungkap memiliki kasus korupsi.
Kriminalisasi ternyata sudah terjadi pada zaman ini.
Presiden Soekarno dikabarkan mengumpulkan kabinetnya di Istana Bogor. Entah ia sudah sadar atau belum akan mimpi buruk yang telah diciptakannya melalui konfrontasi.
Ia berangkat dengan Cadilac-nya dan diiringi sepeda-sepeda motor polisi militer yang sirinenya meraung-raung membelah malam. Melewati warung-warung makan berlampu teplok, juga Monumen Nasional yang baru saja berdiri.
Dari pembicaraan para wartawan yang kudengar di hotel, Presiden telah memaki perwakilan wartawan Australia. Ia juga telah menyamakan mereka dengan musuh-musuhnya di kelompok NEKOLIM. Kini baginya Australia adalah pengkhianat.
Kondisiku ini membuatku sering pergi tanpa ditemani Dyah. Aku khawatir akan keselamatannya.
Yang membuatku kecewa adalah aku tidak bisa membawanya ke bioskop. Presiden Soekarno telah memboikot film-film barat dan membuat bioskop kekurangan pasokan film. Selain itu, masa ekonomi yang sulit juga membuat biaya operasional tidak bisa ditanggung pengusaha bioskop.
Padahal aku ingin mengajaknya menikmati film dalam gelap, seperti yang sering kulakukan dengan Feby. Aku ingin menghadirkan layar tancap di hotel hanya untukku dan Dyah. Tapi akhirnya aku berpikir bahwa itu hal konyol.
Maka setiap kali kami bertemu, kami menghabiskan waktu di lobby hotel. Kalau pun kami ke luar, maka kami hanya pergi ke tempat yang kira-kira sepi dari demonstrasi konfrontasi. Seiring waktu yang kami habiskan, ia semakin dekat denganku. Dyah pun mulai nyaman memanggilku “Mas”.
“Dyah...” kataku suatu saat.
“Ya, Mas?”