30-09-1965

Rizki Ramadhana
Chapter #15

Kenyataan Orde Lama

Lagi-lagi dari para wartawan di hotel, aku mendapatkan informasi bahwa PKI meminta untuk segera dilakukan pengambilalihan atas perusahaan-perusahaan Amerika Serikat (AS). Soebandrio disinyalir berada di balik ini semua.

Anggota-anggota PKI bahkan akan melakukan demonstrasi di depan kedubes AS. Mereka benar-benar serius menuntut pemutusan hubungan total dari AS.

Sementara AS selama ini masih mengucurkan bantuan kepada Indonesia. Pemutusan hubungan bisa berarti terhentinya bantuan dari AS. Indonesia mau tidak mau harus sepenuhnya berkiblat kepada Moskow atau Peking.

Penguasaan penuh PKI atas pemerintahan bisa berarti mendudukkan seorang Stalin di kursi kepresidenan pasca Soekarno. Stalin yang membunuh lebih dari sepuluh juta orang.

Aku tidak pulang ke hotel selama hingga larut malam untuk mengikuti situasi Jakarta. Sepanjang hari terjadi kepadatan di sejumlah ruas jalan. Mobil-mobil dan bus berebut jalanan. Hanya sepeda-sepeda ontel yang dapat dengan leluasa melaju. Di beberapa titik, aparat keamanan berkordinasi intensif. Sejumlah orang bahkan memilih untuk memarkir kendaraannya di kantor polisi.

Saat inilah becak menjadi primadona. Mereka leluasa pergi ke mana pun tanpa harus khawatir. Tidak akan ada perusuh yang akan mengincar tukang becak. Itulah cara yang kutempuh. Kusewa sebuah becak untuk mengantarku berkeliling. Yang paling penting adalah aku ingin tahu situasi di kedubes Amerika Serikat.

Saat sampai di sana, kuperhatikan PKI memang melakukan niatnya. Di depan kedubes AS, sejumlah pemuda membawa spanduk bertuliskan “GANJANG MALAYSIA” dan “GANTUNG PENJAJAH PENGKHIANAT”. Mereka adalah Pemuda Rakjat, senjata PKI yang paling ampuh untuk mengganggu stabilitas nasional. Pemuda Rakjat memiliki kebiasaan menaiki truk dan memblokir jalanan. Lebih parah lagi, mereka semua bersenjata, dari mulai pisau hingga senapan.

Dengan senjata yang diacung-acungkan, mereka seperti koboi di tengah kota yang sedang mengancam warga-warga sekitar untuk mendukung demonstrasi PKI. Mereka mengenakan pakaian-pakaian perang, baret, dan kacamata hitam yang sepertinya dibeli dari toko loak.

Puluhan, bahkan mungkin ratusan simpatisan PKI dengan atribut palu-arit berkumpul di depan kedubes AS. Mereka meneriakkan yel-yel anti-Amerika. Semua hujatan anti nekolim mereka lontarkan.

Beberapa di antara mereka melemparkan batu ke arah gedung kedutaan. Sebagian dari batu-batu tersebut ada yang mengenai kaca gedung. Aparat segera mengambil tindakan tegas untuk membubarkan mereka. Situasi yang berubah menjadi semakin berbahaya membuatku memutuskan untuk segera berbalik arah. Bagaimana pun aku tidak ingin tukang becakku terkena akibatnya.

Dyah menyambutku dengan tatapan khawatir saat aku malam harinya.

“Aku sangat mengkhawatirkanmu, Mas. Suasana di luar sungguh mencemaskanku.” katanya

“Jangan khawatir, aku tahu apa yang harus kulakukan jika keadaan berubah menjadi semakin buruk.” Jawabku.

“Tapi aku dengar PKI sudah mulai menggila.”

“Itu benar, aku menyaksikannya sendiri.”

“Aduh, Mas. Kamu ke sana tadi?”

“Jangan khawatir, aku naik becak kok.” Kataku tersenyum.

Dyah nampak masih belum bisa menerima kenekatanku tersebut. Ia masih nampak cemas, bahkan gusar. Sedikit-banyak aku jadi merasa bersalah.

Sebagai penebus, kubawa dia ke Bandung saat akhir pekan. Kami menaiki bus dan menembus jalur puncak.

Di masa ini perjalanan Jakarta-Bandung harus memakan waktu satu hari. Ditambah lagi bus yang kami tumpangi tidak memiliki AC. Sejujurnya aku tidak memperhitungkan ini saat mengajak Dyah. Walaupun pemandangan sepanjang jalan begitu indah, tempat dudukku terasa panas dan kulitku serasa menempel ke kursi saat kami tiba.

Di Bandung kami menginap di Savoy Homann. Kubawa ia ke Jalan Braga yang merupakan jalan paling romantis. Braga tidak pernah berubah. Ternyata ia mempertahankan ciri khasnya selama ini. Di ujungnya masih terdapat gedung Balai Keselamatan. Saat kami pergi ke alun-alun, jalanan masih didominasi oleh oplet. Kami pun menyewa salah satunya untuk mengantar berkeliling kota.

Seperti halnya Jakarta, sepeda ontel juga banyak berkeliaran di jalanan Bandung. Jalan Asia-Afrika yang lengang tampak sepi karena sedikitnya kendaraan. Museum Konferensi Asia-Afrika yang masih baru tampak begitu megah.

“Soekarno telah memulai sesuatu yang hebat.” Kataku.

“Iya, belum ada di dunia ini yang bisa mengumpulkan begitu banyak bangsa dalam satu tempat.” jawab Dyah.

“Setelah menyatukan Indonesia, mungkin ia bisa menyatukan Asia dan Afrika.” Lanjutku.

“Lalu bagaimana selanjutnya?”

“Konferensi kedua akan diadakan di Aljazair. Di sana akan diputuskan langkah ke depannya. Andai itu berhasil.”

“Andai?”

“Ya, semoga saja.”

“Memangnya ada yang akan membuatnya tidak berhasil?”

“Bisa jadi. Tapi akan kuceritakan itu nanti.”

 

Kami pun melanjutkan perjalanan berkeliling. Sejumlah gedung bank yang kukenal pada zamanku ternyata sudah ada pada masa ini, salah satunya yang kami temui di Naripan.

Kami pergi ke Taman Lalu Lintas dan beristirahat di sana. Ayunan-ayunan dan fasilitas bermain di taman ini masih nampak baru. Cat-catnya pun belum ada yang terkelupas. Anak-anak bermain di sana dan Dyah nampak begitu menikmati pemandangan tersebut. Aku tidak ingin mengganggunya yang sedang asyik melihat kebahagiaan anak-anak di sana.

Kami makan siang di warung sate madura, lalu melanjutkan pergi ke arah utara. Jalan Pasteur masih didominasi oleh pepohonan di sekelilingnya. Sejumlah becak nampak parkir di bawah pohon dan pengemudinya tidur di dalamnya. Anak-anak pergi ke sekolah tanpa seragam bahkan sepatu adalah hal yang biasa ditemui.

“Kota ini indah, Mas. Kok aku nggak terpikir untuk ke sini saja ya?” katanya.

“Kamu mau pindah ke sini?” tanyaku.

Lihat selengkapnya