Akhir Juni 1965 telah tiba dengan diiringi angin kering yang datang dari wilayah Tenggara. Tanda-tanda musim kering terlihat dari dimulainya pertunjukan-pertunjukan wayang di pedesaan. Lakon-lakon Mahabharata dan Ramayana dipertontonkan semalam suntuk.
Aku telah pulang dari rumah sakit usai kecelakaan akibat menyelamatkan Dyah. Tulang kakiku retak. Selain itu, tanganku juga harus dibebat karena luka. Bibirku pecah karena mencium jalanan berbatu. Beberapa gigiku patah dan pipiku lebam.
Para perawat mengatakan bahwa aku diangkut oleh tukang becak ke rumah sakit. Aku sendiri tidak ingat. Mereka membolehkanku pulang setelah beberapa hari. Namun aku tidak punya tujuan selain hotel.
Akhirnya Dyah pun merawatku di sana. Ia mengantarkanku dan membaringkanku di malam hari ketika kami mencapai hotel usai membereskan urusan administrasi rumah sakit.
Aku tidak bisa tidur malam itu. Kondisiku saat ini menjadi beban pikiranku.
Malam laknat 30 September akan tiba tidak lama lagi, apakah aku akan mungkin untuk mencegahnya?
Sementara berjalan saja aku harus menggunakan kruk.
Ah...
Paginya Dyah mengetuk pintu kamarku. Kudapati wajahnya sembab seperti halnya orang yang habis menangis.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Aku mimpi...” jawabnya.
“Mimpi apa?”
“Mimpi kamu meninggal...”
Ia langsung menghambur ke pelukanku sambil terus menangis.
Dyah menemaniku belajar berjalan normal. Kami berkeliling Jakarta. Tidak bisa kupungkiri bahwa aku lebih menikmati Jakarta yang ini dibandingkan Dyah. Bagaimana pun dia telah mengalaminya setiap hari selama bertahun-tahun.
Berbeda denganku.
Kupandangi para tukang becak yang mencuci becak-becak mereka di sungai. Anak-anak kecil penjual koran mengenakan topi lusuh, menawarkan dagangannya kepada para pejalan kaki. Di trotoar sering sekali kutemui penjual foto Presiden Soekarno yang dibingkai dalam pigura besar. Bahkan ada yang berukuran poster.