Esok paginya telah menjadi sebuah hari yang baru. Dyah membawakanku sarapan seperti biasa, ia datang membawa nampan dan dua potong french toast untukku. Saat ia meletakkannya di piringku, kubagi satu buah kepadanya.
“Jangan, Mas. Aku bisa dipecat.” Ia tersenyum.
“Apa memang ada larangan untuk pegawai sarapan bersama tamu?” tanyaku.
“Nggak sih, tapi aku takut saja.”
“Nggak ada yang melihat, kan?”
“Ada, Mas.”
“Siapa?”
“Tuhan.” Ia tersenyum lagi, begitu indah.
Aku balas tersenyum.
“Mas, ceritakan dong.” Pintanya.
“Soal apa?” tanyaku.
“Masa depan.”
Aku terkesiap.
Kadang aku lupa bahwa aku sudah menceritakan asal-usulku.
“Oh,ya. Masa depan bagian mana?” tanyaku.
“Mana saja.”
“Yang indah-indah saja?”
“Terserah Mas, nggak perlu yang indah. Semua keindahan nggak akan seru kalau nggak ada sepet-sepetnya.”
Aku kembali terkesima oleh pemikirannya.
“Oke,” kataku. “Indonesia akan punya pabrik pesawat terbang sendiri.” Lanjutku.
“Oh ya? Hebat!”
“Ya. Mungkin kamu belum akrab dengan namanya, tapi akan muncul seorang ilmuwan hebat dari Jerman yang menginisasi itu semua.”
“Oh, dia orang Jerman?”
“Bukan, dia orang Indonesia yang sekolah di Jerman.”
“Oooh, Jerman...Barat berarti?”
Ah, ya. Lagi-lagi aku lupa bahwa di masa ini Jerman belum bersatu lagi.
“Ya, Jerman Barat.”
“Hmmm, lalu apa lagi?”
Kini aku yang kebingungan. Apa lagi yang harus kuceritakan?
Bahwa Timor-Timur akan lepas di masa pemerintahan orang yang baru saja kubanggakan?
Atau akan ada kerusuhan besar tiga puluh tahun dari sekarang yang akan mengancam integrasi Indonesia?
Tidak, aku harus berpikir untuk menemukan hal baik lain yang bisa kuceritakan.
“Hmmm, baiknya itu dulu. Nanti dicicil ya ceritanya.”
“Hihi, iya deh Mas.”
“Dyah, aku pernah bilang nggak ke kamu?”