30-09-1965

Rizki Ramadhana
Chapter #21

Menulis Sejarah yang Tak Terlihat

Beberapa hari berikutnya kuhabiskan dengan menulis dan melengkapi jurnal ini. Aku mengisinya dengan detil serta memperhatikan runutannya sehingga kau dapat membacanya dengan nyaman. Kuakui bahwa ini cukup menantang karena aku bukan seorang penulis. Tapi semoga engkau bisa mengikutinya dengan baik.

Setiap kata yang kutulis, setiap kalimat yang kubentuk, semuanya adalah hasil dari pengalaman dan pengorbanan yang kulakukan selama sembilan bulan terakhir. Aku ingin memastikan bahwa setiap detil tercatat dengan baik, agar kau, yang membaca jurnal ini, bisa merasakan dan memahami apa yang telah kualami.

Surat-surat kabar yang terbit tidak ada yang menyinggung peristiwa Lubang Buaya (kini biarlah itu disebut demikian karena tidak akan ada yang mengingat G30S). Kejadian malam itu sudah terlupakan di benak rakyat Indonesia. Selamanya.

Presiden Soekarno sendiri dalam tindak-tanduknya masih mengundang banyak spekulasi. Bagi wartawan asing, tidak ada yang bisa diprediksi dari Bung Besar. Satu hal yang pasti, aku tahu bahwa ia akan memimpin lebih lama. Dengan kekacauan yang berhasil dicegah, Soekarno memiliki kesempatan untuk memperkuat posisinya dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Saat pikiranku sedang tidak memungkinkan untuk menulis, aku pergi ke luar bersama Dyah. Kami pergi ke toko pakaian dan membeli beberapa baju untukku dan dirinya. Baju-baju yang kami beli kuusahakan bersifat seragam, dan itu memerlukan usaha lebih karena tren baju “couple” belum dikenal saat ini. Namun, kami berhasil menemukan beberapa setelan yang cocok, membuat kami terlihat kompak dan serasi.

Aku juga membeli sejumlah baju hangat untuk kami. Itu kulakukan tanpa kuduga ternyata hujan turun untuk beberapa hari ini. Sepertinya hujan di tengah musim kemarau seperti yang sedang kami alami sekarang adalah berkah yang diberikan Tuhan untuk Indonesia. Hujan itu membawa kesegaran dan harapan baru bagi negeri yang baru saja selamat dari sebuah tragedi yang mengerikan.

Hanya aku (serta Dyah dan Ali) yang tahu akan hal tersebut. Juga engkau yang sedang membaca, tentunya. Biarlah itu tercatat dalam sejarah. Sejarah itu sendiri tidak akan tertulis dan dibaca oleh banyak orang. Tidak akan ada yang tahu maupun mempercayainya. Ia hanya tertulis di jurnal yang sekarang sedang kau baca. Inilah sejarah yang hanya diketahui oleh kita.

Malam itu, setelah seharian berbelanja dan menulis, aku duduk bersama Dyah di balkon hotel, menikmati udara malam yang sejuk. Kami berbincang tentang masa depan, tentang apa yang akan kami lakukan setelah semua ini.

"Dyah, bagaimana perasaanmu sekarang setelah semua yang kita lalui?" tanyaku sambil memandang langit yang penuh bintang.

Dyah tersenyum lembut. "Aku merasa lega, Mas. Kita telah melakukan sesuatu yang besar. Aku bangga bisa menjadi bagian dari ini."

Aku menggenggam tangannya erat. "Aku juga, Dyah. Terima kasih atas dukunganmu. Tanpa kamu, aku tidak akan bisa melakukannya."

Kami duduk dalam keheningan, menikmati momen kebersamaan ini. Aku merasa tenang, mengetahui bahwa masa depan yang lebih baik sedang menanti. Meskipun tantangan masih banyak, aku siap menghadapinya dengan semangat baru.

Lihat selengkapnya