30-09-1965

Rizki Ramadhana
Chapter #22

Suara-suara

Ah, ya, pulang.

Berarti aku harus kembali ke tahun 2019?

Tapi, apakah 2019 memang benar-benar tempatku untuk pulang?

Bukankah pulang adalah menuju tempat yang disebut “rumah”?

Sementara selama hampir satu tahun ini, Hotel Indonesia adalah rumahku bersama dengan Dyah.

Selama itu juga, aku telah membatasi akses pergaulanku.

Hanya Dyah orang yang benar-benar berinteraksi denganku secara langsung dan intensif.

Itu kulakukan agar tidak terlalu banyak orang yang mengenalku di sini. Kuhindari risiko yang dapat merugikan diriku di masa depan.

Aku teringat seorang presiden yang dikaitkan dengan PKI hanya karena ada sosok mirip dirinya yang tertangkap kamera sedang berada di dekat Aidit. Hal-hal seperti itulah yang kuhindari.

Kemudian aku teringat kepada Ola.

Ya, memang aku memiliki rumah di sana. Bersama dengan Ola dan Sean. Tapi itu adalah rumah yang hanya kukenal selama satu malam.

Sementara di sini?

Sekali lagi, aku merasa bahwa di sinilah rumahku. Rumahku adalah tempatku bersama dengan Dyah. Itulah yang kuinginkan. Aku yakin Dyah juga demikian. Kami saling mencintai dan tidak ada alasan untuk mengakhirinya. Mungkin sebaiknya kami menikah.

Ya, itu akan menjadi sebuah ide yang bagus.

Berhari-hari lamanya aku mencoba melupakan suara yang muncul dari dalam diriku setiap pagi. Berhari-hari pula aku menghabiskan waktu sepenuhnya bersama Dyah. Walaupun demikian, suara itu tidak pernah hilang. Bahkan terdengar semakin keras setiap paginya.

Lama-lama aku tidak tahan lagi. Pasti ada sesuatu yang membuatku terus menerus dipanggil untuk pulang. Walaupun aku tidak ingin, namun sepertinya tidak ada jalan lain. Aku harus pulang untuk menghilangkan suara-suara tersebut.

Kuharap setelah aku pulang, aku bisa kembali ke sini. Melanjutkan hidup bersama Dyah, selamanya. Meninggalkan masa lalu (atau tepatnya masa depan) jauh di belakang kehidupan kami.

 

Dyah mengetuk pintu kamarku yang memang sengaja kubiarkan terbuka, dan mendapatiku tengah menyelesaikan proses berkemas.

“Jadi...?” tanyanya.

“Ya, semua tragedi itu sudah berakhir, sayang.” Jawabku.

Lihat selengkapnya