Putaran mesin waktu perlahan berhenti. Sepertinya aku telah kembali ke tahun 2019. Setelah mesinku berhenti dengan sempurna, aku pun turun dan mencari Ali. Aneh, ruangan laboratoriumnya nampak gelap. Padahal dari penunjuk waktu yang tertera di mesin waktu, aku belum pergi terlalu lama, hanya satu menit sejak waktu yang terhitung saat aku pergi. Walaupun tentu aku telah menghabiskan sekitar sepuluh bulan di tahun 1965.
Aku ingat terakhir kali menaiki mesin waktu dari sini adalah siang hari. Tentunya satu menit tidak akan bisa mengubah siang hari menjadi malam. Tapi kenyataannya memang demikian, setidaknya menurut kesimpulanku.
“Kang...?” panggilku.
Tidak ada jawaban.
“Kang Ali...?” ulangku.
Masih tidak ada jawaban. Keadaan di sekitarku masih gelap, namun sedikit banyak kudapati ada cahaya, seiring mataku yang mulai menyesuaikan diri. Ini aneh, laboratorium Ali berada di bawah tanah. Jika lampu di sini mati, tidak mungkin ada cahaya.
Aku mencoba berjalan ke arah cahaya tersebut. Kakiku tersandung sesuatu, yang setelah kuraba sepertinya adalah sebuah pipa. Terdapat beberapa lagi pipa-pipa berserakan di lantai. Saat aku melanjutkan langkahku, kusadari bahwa aku sedang berjalan di atas puing-puing bangunan.
Kupicingkan mataku ke arah sumber cahaya. Semakin lama semakin kusadari bahwa sumber cahaya yang ada ternyata cukup banyak, namun semuanya kecil. Kudapati bahwa cahaya-cahaya tersebut berasal dari lubang-lubang kecil. Aku pun mendekat ke arah lubang-lubang tersebut. Ternyata mereka adalah lubang-lubang di sebuah dinding.
Dinding kayu.
Ini... bukan ruangan bawah tanah, pikirku.
Kuraba dinding tersebut dan perlahan-lahan kutemukan sebuah pintu di sana. Tidak ada gagang untuk membukanya. Maka terpaksa kucoba untuk mendobraknya. Satu kali, dua kali, hingga tiga kali. Akhirnya pintu tersebut terbuka. Kudapati bahwa aku ternyata memang tidak berada di ruang bawah tanah.
Aku melangkah ke luar dan memandangi tempatku berada tadi. Ternyata sejak tadi aku berada di sebuah gubuk. Gubuk reyot yang kondisinya jauh lebih tidak layak dan parah dibandingkan gubuk di tahun 1992 saat aku pertama kali menjelajah waktu.
Lalu kuedarkan pandanganku ke arah sekeliling. Pemandangan yang kutemukan sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku.
Pemandangan di luar gubuk itu sungguh memprihatinkan. Puing-puing bangunan berserakan di mana-mana. Gedung-gedung yang dulu berdiri kokoh kini runtuh dan hancur. Jalan-jalan yang biasanya ramai kini sepi dan dipenuhi reruntuhan. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, bukan di tahun 2019 yang kukenal.
Aku berjalan perlahan menyusuri puing-puing, mencoba mencari petunjuk tentang apa yang telah terjadi. Suasana sunyi dan mencekam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya angin yang berhembus lembut membawa debu dan serpihan kecil dari bangunan yang hancur.
“Kang Ali...?” panggilku sekali lagi, berharap mendapatkan jawaban. Namun tetap saja, tidak ada jawaban.
Aku terus berjalan, menelusuri jalanan yang penuh dengan reruntuhan. Hati kecilku berteriak, menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Di kejauhan, kulihat bayangan seseorang yang berjalan pincang. Aku mempercepat langkahku, berharap orang itu bisa memberiku jawaban.
“Permisi! Tuan! Tunggu!” teriakku sambil berlari kecil ke arahnya.
Orang itu berhenti dan berbalik. Wajahnya dipenuhi dengan luka dan debu, menunjukkan betapa kerasnya hidup yang ia jalani. "Siapa kamu?" tanyanya dengan suara serak.
“Aku Erie. Aku mencari seorang bernama Ali. Apakah kamu tahu apa yang terjadi di sini?”
Orang itu menatapku dengan mata penuh kelelahan dan kesedihan.
Orang itu menggeleng. “Banyak yang hilang. Aku tidak tahu siapa Ali.”
Ia lalu segera meninggalkanku yang belum sempat berkata apa-apa. Kualihkan pandanganku ke atas.
Langit nampak berawan.
Angin dingin menerpa tubuhku, membuatku menggigil. Suhu tempatku berada sangatlah rendah. Seingatku Bandung belum pernah sedingin ini, bahkan di masa kecilku.
Kakiku menginjak sesuatu yang basah. Ternyata genangan air yang setelah kutelusuri berasal dari sebuah pipa bocor. Pipa itu sesekali menyemprotkan air. Airnya berwarna sangat keruh, lebih pekat dibandingkan kopi.
Kembali kuedarkan pandanganku ke arah sekitar.