30-09-1965

Rizki Ramadhana
Chapter #26

Kepemimpinan Soekarno (1965-1975)

 

Setelah peristiwa Lubang Buaya, Soekarno selalu merasa ada ancaman yang mengintai, baik dari dalam maupun luar istana. Ia tahu bahwa untuk emnjaga politik keseimbangannya, dirinya harus menjaga hubungan dengan militer, terutama Angkatan Darat. Rekonsiliasi pun dilakukannya dengan kembali merangkul Yani, Nasution, dan sejumlah perwira tinggi lainnya.

"Kita harus terus waspada," kata Soekarno kepada Jenderal Yani suatu hari. "Ancaman bisa datang dari mana saja."

Jenderal Yani, yang dikenal berhaluan kanan dan anti-PKI, selalu mendengarkan dengan seksama. "Betul, Pak. Kita tidak bisa lengah sedikit pun."

Soekarno mulai memperketat pengawasan terhadap para pejabat tinggi. Setiap laporan yang masuk diperiksa dengan teliti, setiap gerakan dipantau. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menggulingkanku," pikirnya.

Hari-hari berlalu, tetapi ketegangan tidak pernah surut. Rakyat mulai merasakan dampak dari kepemimpinan yang penuh kecurigaan ini. "Mengapa keadaan semakin sulit?" tanya seorang pedagang di pasar.

"Entahlah, tapi sepertinya keadaan semakin tidak menentu," jawab seorang pembeli. "Presiden tampaknya sangat khawatir."

Di balik semua itu, Soekarno tetap berusaha menjaga stabilitas negara. Ia sering mengadakan pertemuan dengan para pemimpin militer dan sipil untuk memastikan tidak ada yang mencoba melakukan tindakan makar.

"Yani, kita harus melakukan penyelidikan lebih dalam," kata Soekarno pada suatu hari. "Pastikan semua orang yang dicurigai diawasi dengan ketat."

"Siap, Pak," jawab Yani dengan tegas. "Saya akan segera mengatur tim untuk melakukannya."

Namun, di tengah segala usaha Soekarno untuk menjaga kekuasaannya, kesehatannya semakin menurun. Tekanan dan stres yang terus-menerus mulai mempengaruhi kondisi fisiknya.

"Saya khawatir dengan kesehatan Bapak," kata seorang dokter istana. "Bapak perlu lebih banyak istirahat."

"Tidak bisa," jawab Soekarno keras kepala. "Negara ini butuh saya."

Meskipun begitu, tubuhnya tidak bisa berbohong. Serangan jantung dan tekanan darah tinggi mulai menggerogoti kesehatannya. Namun, Soekarno tetap gigih menjalankan tugasnya sebagai presiden.

Sementara itu, Jenderal Yani semakin mengambil peran penting dalam pemerintahan. "Bapak harus lebih sering beristirahat," kata Yani suatu hari. "Biarkan saya yang mengurus beberapa urusan negara."

Soekarno hanya bisa mengangguk lemah. "Baiklah, Yani. Saya percayakan padamu."

Di sisi lain, DN Aidit dan PKI terus berusaha memperkuat posisi mereka. "Kita tidak boleh berhenti," kata Aidit kepada para anggota partai. "Kita harus terus memperjuangkan hak-hak kita."

Namun, kekuatan PKI semakin menipis di bawah tekanan pemerintah dan militer yang semakin intensif. Demonstrasi dan aksi-aksi mereka sering dibubarkan dengan paksa.

"Sekarang waktunya kita lebih berhati-hati," bisik Aidit. "Kita harus bertahan hingga saat yang tepat."

Masa-masa sulit ini terus berlanjut hingga tahun 1975. Soekarno semakin lemah, tetapi tetap berusaha menjalankan tugasnya. Pada suatu pagi yang tenang, Soekarno akhirnya menyerah pada penyakitnya. Ia meninggal dunia, meninggalkan negara dalam keadaan penuh ketidakpastian.



Jenderal Yani segera mengambil alih kekuasaan sebagai presiden setelah kematian Soekarno. Dalam pidato pelantikannya, Yani berdiri dengan tegap di hadapan para pemimpin militer, sipil, dan rakyat Indonesia. "Saya akan melanjutkan perjuangan Bapak," katanya dengan suara penuh keyakinan. "Kita akan menjaga stabilitas negara dan memastikan bahwa tidak ada lagi ancaman dari dalam maupun luar."

Lihat selengkapnya