Tahun 1976, situasi politik di Indonesia semakin memanas. DN Aidit dan Partai Komunis Indonesia (PKI) menggunakan Peristiwa Lubang Buaya sebagai amunisi untuk memperjuangkan pembentukan Angkatan Kelima. Dalam berbagai pertemuan rahasia, mereka merencanakan langkah-langkah strategis untuk mendapatkan dukungan dari rakyat dan memaksa pemerintah membentuk angkatan tersebut.
"Kita tidak boleh menyia-nyiakan momentum ini," ujar DN Aidit dalam sebuah pertemuan tertutup dengan para pemimpin PKI. "Peristiwa Lubang Buaya memberikan kita alasan kuat untuk mendesak pembentukan Angkatan Kelima."
Para pemimpin PKI mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa waktu adalah kunci. "Kita harus mengadakan demonstrasi besar-besaran," kata seorang anggota senior PKI. "Kita perlu menunjukkan kepada pemerintah bahwa rakyat mendukung kita."
Persiapan pun dimulai. Para kader PKI bergerak cepat, mengorganisir massa dan menyebarkan propaganda di seluruh Indonesia. "Kita harus mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat," kata Aidit. "Petani, buruh, mahasiswa, semuanya harus turun ke jalan."
Di sisi lain, Jenderal Yani menyadari ancaman yang semakin mendekat. "Kita harus waspada," kata Yani kepada para pemimpin militer dalam sebuah pertemuan darurat. "PKI tidak akan tinggal diam. Mereka akan menggunakan setiap kesempatan untuk memperkuat posisi mereka."
Para pemimpin militer setuju dengan Yani. "Kami akan meningkatkan pengawasan," kata seorang jenderal. "Setiap gerakan mereka akan kita pantau."
Namun, PKI telah mengantisipasi langkah pemerintah. Mereka bergerak dengan cepat dan terorganisir. Demonstrasi besar-besaran pun mulai terjadi di berbagai kota besar. Di Jakarta, ribuan orang turun ke jalan, membawa spanduk dan meneriakkan slogan-slogan dukungan untuk PKI.
"Angkatan Kelima sekarang juga!" teriak seorang demonstran. "Kami butuh perlindungan dari PKI!"
Di tengah kerumunan, DN Aidit berpidato dengan penuh semangat. "Saudara-saudara, kita tidak bisa diam saja. Kita harus berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Pembentukan Angkatan Kelima adalah hak kita!"
Pidato Aidit mendapatkan sambutan meriah dari massa. "Hidup Aidit! Hidup PKI!" teriak mereka serempak.
Yani, yang memantau situasi dari istana, merasa semakin tertekan. "Kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut," katanya dengan tegas. "Kita harus mengambil tindakan."
Namun, tekanan dari PKI semakin kuat. Demonstrasi terus berlanjut setiap hari, dengan jumlah massa yang semakin bertambah. Media internasional mulai meliput situasi di Indonesia, memberikan sorotan kepada gerakan besar-besaran yang dipimpin oleh PKI.
"Kita harus mempertimbangkan tuntutan mereka," kata seorang penasihat kepada Yani. "Jika tidak, situasi akan semakin sulit dikendalikan."
Yani terdiam sejenak, merenungkan nasihat tersebut. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kita akan mengadakan pertemuan dengan PKI. Kita harus mencari solusi yang tidak merusak stabilitas negara."
Pertemuan antara pemerintah dan PKI pun diatur. Di sebuah ruangan yang dijaga ketat, Yani duduk berhadapan dengan Aidit. "Kita tidak bisa membiarkan situasi ini berlarut-larut," kata Yani membuka pembicaraan. "Apa yang kalian inginkan?"