Tahun 1977, ketegangan di Indonesia mencapai puncaknya. Angkatan Kelima, yang sebelumnya dibentuk dengan tujuan melindungi rakyat, mulai menunjukkan tanda-tanda pemberontakan. Di berbagai daerah dan ibu kota, kelompok-kelompok dari Angkatan Kelima mulai bergerak secara terkoordinasi, menentang pemerintah dan militer.
"Pemberontakan ini tidak bisa dibiarkan," ujar Jenderal Yani dalam sebuah rapat darurat di istana. "Kita harus segera bertindak sebelum situasi semakin memburuk."
Para pemimpin militer, termasuk Brigjen Pandjaitan, Brigjen Soetojo, Mayjen Soeprapto, dan Jenderal Nasution, mendengarkan dengan serius. "Kami siap melaksanakan perintah, Pak," kata Brigjen Pandjaitan. "Namun, kita perlu strategi yang matang."
Di jalanan Jakarta, suasana semakin mencekam. Anggota Angkatan Kelima mulai mengadakan demonstrasi yang diwarnai kekerasan. Mereka menyerang kantor-kantor pemerintah dan pos-pos militer. "Kita harus menunjukkan kekuatan kita," teriak seorang pemimpin Angkatan Kelima di tengah kerumunan. "Ini adalah zaman kita!"
Di markas besar militer, Yani memberikan instruksi kepada para perwira tinggi. "Kita harus menghentikan ini sekarang juga," katanya tegas. "Setiap gerakan mereka harus kita patahkan."
Brigjen Soetojo mengangguk. "Kami akan mengerahkan pasukan terbaik untuk mengendalikan situasi," ujarnya. "Keamanan ibu kota harus menjadi prioritas utama."
Namun, di balik layar, situasi semakin rumit. Pemberontak Angkatan Kelima telah menyusun rencana detil untuk menculik dan menghabisi para pemimpin militer. "Kita harus memukul mereka di tempat yang paling menyakitkan," bisik seorang pemberontak kepada rekannya. "Kita harus menyingkirkan para pemimpin mereka."
Pada malam yang kelam, para pemberontak bergerak cepat. Mereka berhasil menyusup ke kediaman Brigjen Pandjaitan, menculiknya dengan brutal. "Apa yang kalian inginkan?" tanya Pandjaitan dengan suara gemetar.
"Kami ingin keadilan," jawab seorang pemberontak dingin. "Dan itu dimulai dengan menyingkirkanmu."
Di tempat lain, Brigjen Soetojo sedang bersiap untuk tidur ketika sekelompok pemberontak menyerbu rumahnya. "Ini tidak boleh terjadi," bisiknya pada diri sendiri saat mendengar suara pecahan kaca. Namun, tidak ada waktu untuk melarikan diri. Dia diculik dan dibawa pergi dalam sekejap mata.
Mayjen Soeprapto mengalami nasib serupa. Saat sedang bekerja larut malam di kantornya, sekelompok pemberontak menerobos masuk. "Kalian tidak akan berhasil," kata Soeprapto dengan tegas.
"Kami sudah berhasil," jawab salah satu pemberontak sebelum menghabisinya.
Jenderal Nasution, seorang pemimpin militer yang sangat dihormati, juga menjadi target. Saat sedang bersama keluarganya, rumahnya diserang. "Cepat, sembunyilah," kata Nasution kepada keluarganya. Namun, ia sendiri tidak sempat melarikan diri. Dia diculik dan dihabisi oleh pemberontak.
Berita tentang penculikan dan pembunuhan para pemimpin militer segera tersebar. Suasana semakin mencekam. Rakyat menjadi panik, dan kepercayaan terhadap pemerintah mulai goyah. "Apa yang akan terjadi sekarang?" tanya seorang warga kepada temannya di pasar.
"Aku tidak tahu," jawab temannya dengan ketakutan. "Kita harus bersiap untuk yang terburuk."