Aku mencoba mencerna penjelasan Mukhlis. Kenyataan yang dihadapanku sekarang terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan.
“Jadi, ini semua terjadi karena peristiwa Lubang Buaya?” tanyaku dengan suara bergetar.
Mukhlis mengangguk. “Ya, secara tidak langsung. Peristiwa itu memicu serangkaian kejadian yang akhirnya membawa kita ke situasi sekarang ini. Kita tidak pernah menyangka bahwa pengaruhnya akan sebesar ini.”
Aku terduduk lemas, mencoba memahami betapa besarnya dampak dari perubahan yang telah kulakukan di masa lalu. Dunia yang kukenal telah hancur, terpecah-belah, dan penuh dengan kekacauan.
“Apa yang bisa kita lakukan sekarang?” tanyaku putus asa.
Mukhlis menghela napas panjang. “Kita hanya bisa bertahan hidup dan berharap suatu hari keadaan akan membaik. Tapi itu bukan tugas yang mudah. Banyak yang telah mencoba, dan banyak pula yang gagal.”
Pikiran tentang Dyah kembali menghantuiku. Bagaimana nasibnya di masa lalu? Apakah dia aman?
Dulu, jauh di masa lalu, dalam versi kehidupanku sebelum bertemu mesin waktu, aku pernah bercita-cita menulis sebuah novel. Kuharapk novelku itu menjadi bacaan populer orang-orang di dunia, menyaingi dongeng-dongeng yang dibuat penulis-penulis terkenal.
Ketika Ali memperkenalkanku kepada mesin waktunya, sebenarnya terpikir olehku untuk merealisasikan keinginanku menulis novel tersebut. Barangkali bisa kuberi judul “Perjalanan Waktu Erie Marhaen” atau “Erie Marhaen Mengubah Sejarah”.