Wenya nyatanya jauh lebih baik dalam memilih penginapan dan berinteraksi dengan manusia. Buktinya, tidak ada satu orang pun yang pingsan atau kencing di celana ketika melihat mereka datang. Tidak sama seperti ketika Zhen datang bersama Ning Gogo dan Hena yang membuat satu vila ketakutan sampai pucat seperti mayat di sudut ruangan.
Tuan Penguasa Bunga merasa sedikit lebih baik setelah keluar dari derasnya hujan dan berasa di bawah atap. Hujan juga reda setelah itu. Akan tetapi, dia dibuat tidak bisa bergerak oleh wanita putih itu. Siapa yang akan merasa baik-baik saja setelah dipasangkan segel pengendali? Zhen merasa diperlakukan seperti boneka oleh wanita berambut putih itu.
Sekarang, bagaimana dia bisa pergi? Wenya bahkan menyeretnya seperti anak kecil setelah menyelesaikan pembayaran penginapan.
Wenya hanya memesan satu kamar, itu yang membuat Zhen ingin lari lagi dan lebih baik pergi bersama Ning Gogo dan Gadis Merah Muda. Bahkan jika dia tidak memiliki ingatan, pengetahuan umum tentang batasan laki-laki dan perempuan alami dalam pemahamannya. Tentu saja Zhen tidak ingin berada di kamar yang sama dengan seorang wanita aneh serba putih.
Namun, Wenya tidak memberinya banyak pilihan. Wanita dengan gaun putih pendek dan bot tinggi membantu laki-laki yang berlumuran lumpur di atas tempat tidur. Dia membuat Zhen tidak bisa bergerak dengan segel pengendali. Dengan segel ini, Zhen hanya akan bergerak jika dia memerintahkannya.
"Mengapa kau menculikku? Katakan saja, apa maumu sebenarnya? Aku banyak urusan dan tidak ingin bermain-main denganmu." Zhen marah, tetapi suaranya tetap tenang dan selembut angin di antara ranting-ranting.
Wenya memerintahkan pelayan penginapan untuk menyiapkan air hangat dan handuk, serta sabun dan sampo. Beberapa saat kemudian, semua yang dia inginkan diantar masuk ke kamar. Wenya tidak memberi jawaban atas kata-kata Zhen. Dia tidak memiliki banyak kata-kata dalam kepalanya untuk laki-laki itu.
"Aku akan membantumu membersihkan diri." Wenya tanpa ekspresi menawarkan bantuan yang lebih ke arah tuntutan.
Zhen seketika itu juga membuang muka, menyembunyikan wajahnya yang menjadi merah karena marah.
"Jangan sentuh aku," tegasnya tanpa melihat Wenya yang memasukkan handuk dalam baskom berisi air.
Dewi Kematian yang serba putih itu meremas handuk basah, kemudian mencubit dagu Zhen dan membawa wajah tampan itu untuk beradu tatap dengannya. Tindakan itu tidak begitu kasar dan dibarengi perhatian. Akan tetapi, seseorang yang dipaksa, selembut apa pun diperlakukan, tetap tidak akan menerimanya.
Zhen ingin meledak marah lagi dengan tindakan wanita putih yang menyeka kotoran di wajahnya.
"Aku bisa lakukan sendiri. Kau ini kenapa? Aku bukan anakmu. Menjauh dariku!" Zhen memelototinya dan mencoba memberontak.
Pihak lain yang ingin merawat laki-laki tanpa ingatan itu merasa bahwa ini bukan saatnya bertengkar. Wenya menjauhkan tangannya, lantas melepas segel pengendali dari tubuh Zhen; menekan dua titik di dada atas pria itu hingga aliran darah dan saraf kembali normal.
Baru setelah itu Zhen merasa lega dan segera beringsut mundur seperti bayi kucing yang menghadapi musuh.
"Aku pikir, tidak ada yang salah dari sebuah pertolongan. Kau tidak pernah berubah. Tetap saja keras kepala." Wenya duduk di sofa, tepat di depan Zhen yang waswas dan menatap seolah-olah mengajaknya berperang.