Di kelebatan hutan pegunungan Arjuno-Welirang, 2.811 meter di atas permukaan laut.
Musim penghujan belum seminggu berlalu. Tanah dan bebatuan gunung basah. Rerumputan tumbuh merimbun. Perdu, ilalang liar tak menyisa tanah kosong. Cemara dan pinus menyemi dedaunan di pucuk-pucuk rantingnya.
Angin bertiup pelan. Ribuan pinus dan cemara di punggung bebukitan tenang tak terusik. Sinar matahari menerobos sela dedaunan, menerangi sepasang pendaki yang berjuang keras menerobos jalur pendakian. Jalan yang mereka tempuh dipenuhi tumbangan pohon. Material runtuhan tanah dan batu terserak di kaki tebing. Ransel yang penuh sesak membuat langkah kedua pendaki itu tertatih menjaga keseimbangan. Saat pendaki perempuan meniti turunan, tiba-tiba pergelangan kaki kanannya tersangkut akar pohon pinus yang menonjol namun tersembunyikan dedaunan arbei hutan.
Dagg! kraaakk!!
“Aduh!”, “Awas, Dit!”.
Kraaakk! Krsaaaakk! Brrgghhhgg!
“Ya Tuhan! Aduh!”.
“Dita!”.
Gadis 19 tahun itu terpelanting, jatuh berguling beberapa kali sebelum akhirnya terlentang di bibir jurang sedalam 7 meter. Rheno berlari menolong Dita yang merintih-rintih. Rheno melepas ransel Dita, menggesernya menjauhi bibir jurang, memeluk perempuan itu.
“Kamu nggak apa-apa? Kamu nggak apa-apa? Apamu yang sakit?” Rheno, pemuda berahang kuat itu mengucap gugup.
”Kaki .. kaki kananku .. sakit, Rhen. Sakit di pergelangan. Nyerii .. bangeettt,” Dita menggigit bibir menahan sakit.
Rheno cepat-cepat membuka sepatu Dita, menyingkap ujung celana. Memar merah berbentuk bulan sabit melingkar di pergelangan kaki. Dita meringis menahan nyeri.
“Sakit?” Rheno menekan pelan pergelangan kaki, mengusap lembut. Dita mengangguk sambil menggigit bibir.
“Untung cuma memar, tidak sobek,” Rheno menarik nafas lega. Pemuda itu lantas mengeluarkan salep pereda nyeri dari ransel.
“Kita kembali ke basecamp. Rencana ke puncak, kita batalkan,” kata Rheno sambil mengusap salep pereda nyeri. Rheno kemudian memandang Dita dengan tatapan sayang.
“Tanggung, Rhen. Sebentar lagi nyampe puncak. Jauh-jauh dari Bandung masa cuman segini. Kita harus meneruskan perjalanan. Lagian-”
“Dit, ke puncak Arjuno-nya masih lama, kemungkinan masih empat jam. Kita masih di ketinggian 2800,” potong Rheno
“Kalo cuma empat jam, aku masih kuat. Kakiku nggak apa-apa,” Dita menapak-napakkan kaki, menggerakkannya.
“Nah, tuh, nggak apa-apa, kan? Lukaku memar biasa. Nggak keseleo. Nggak retak,”
“Sudahlah, kita turun. Aku nggak mau ambil risiko. Basecamp cuma sejam dari sini,”
“Bukannya ambil resiko, Rhen. Lagian aku masih kuat. Kakiku nggak apa-apa. Nih, lihat,” Dita kembali menapak-napakkan kaki kanannya di atas tanah. “Ini cuma luka memar biasa, ntar kalo kerasa nyeri, dibantu pake tongkat,”
“Kamu yakin?” tanya Rheno, memandang lembut Dita
“He-em, yakin. seribu persen,” Dita mengangguk manja. Namun Rheno tetap khawatir.
“Keputusanku, kita kembali ke basecamp. Kamu harus istirahat, sampai kakimu benar-benar pulih. Kalau memaksa ke puncak, kita butuh 8 jam lebih buat pulang pergi. Aku khawatir kakimu lebih parah. Nggak ada guna ke puncak kalo kamu menderita. Kita pending dulu, oke?!”
“Yaahhhh,”
Keputusan Rheno membuat Dita kecewa. Tetapi, perempuan itu tahu jika Rheno berbuat demikian semata-mata demi menjaga dirinya. Dita merasa bangga.
“Baiklah, kita turun. Tapi kita harus tetap ke puncak. Target nggak boleh berubah,” Dita memandang Rheno penuh harap, “Aku nggak mau rencana kita gagal gara-gara kakiku.”
“Baiklah.”
“Janji?”
“Ya, janji” ujar Rheno, mantap. Tangannya kemudian membimbing lengan Dita untuk bangkit.
Meski tertatih, Dita membuktikan kata-katanya. Dita mampu melangkah dengan baik meski setengah menggelayut bertumpu tangan Rheno. Ya. Luka di kakinya hanya memar biasa. Dita kemudian meminta Rheno melepas tumpuan tangannya. Dita mencoba berdiri, melangkah perlahan-lahan. Langkah yang awalnya kaku perlahan normal meskipun agak pelan. Melihat Dita yang mampu berjalan normal mengurangi kekhawatiran Rheno. Pemuda berbahu tegap itu kemudian mengangkat ransel Dita dan membawanya di depan dada, sementara ranselnya sendiri yang lebih besar menggantung terayun-ayun di punggungnya.
Dita dan Rheno menuruni jalur pendakian menuju basecamp terakhir yang telah disinggahinya kemarin malam. Basecamp itu berupa tanah lapang yang tak rata, dikelilingi bukit-bukit berpohon pinus dan cemara, terserak bebatuan seukuran badan kerbau di banyak tempat secara acak. Puluhan gubuk beratap ilalang berdiri di tempat itu. Dinding terbuat dari jerami tergapit belahan bambu, tiang-tiang penyangga terbuat dari bambu tua yang diikat lilitan serabut buah kelapa atau pilinan serabut pohon aren. Bangunan-bangunan semi permanen itu menjadi tempat singgah penambang belerang selepas mengumpulkan bongkahan belerang dari kawah gunung Welirang di bagian barat komplek pegunungan Arjuno-Welirang.
Tiupan angin lembah terhalang bebukitan dan rapatnya pepohonan. Batu-batu seukuran badan kerbau terlihat belang bercak-bercak hijau kekuningan lantaran ditumbuhi lumut batu. Tempat basecamp dipilih para penambang belerang sebagai tempat transit karena memiliki mata air yang deras. Lagipula tempat itu merupakan titik percabangan dua jalur pendakian menuju dua puncak gunung yang berbeda. Percabangan arah timur menuju puncak Gunung Arjuno berketinggian 3.339 meter di atas permukaan laut, sementara percabangan sisi barat mengarah menuju puncak Gunung Welirang berketinggian 3.156 meter di atas permukaan laut. Kedua puncak tertinggi itu hakekatnya merupakan jajaran kesatuan komplek pegunungan Arjuno-Welirang. Puluhan puncak-puncak lain dengan ketinggian lebih rendah tersebar di antara ke dua puncak utama itu. Namun hutan-hutannya seakan yang tak terjamah.
Udara dingin mencekat. Angin bertiup sedikit kasar. Pucuk-pucuk cemara dan pinus bergoyang membunyikan desis-desis angin yang lirih. Di antara dahan pohon cemara di ujung basecamp, sekawanan burung jalak hitam berkelincatan melompat-lompat. Burung hitam legam berparuh kuning itu berkicau sembari hinggap di dahan Cemara setinggi 3 meter. Melompat-lompat sebentar kemudian terbang lagi ke dahan lain, berkicau-kicau dengan nada yang tak sama sembari menari. Burung-burung itu kemudian turun ke tanah, mematuk-matuk sisa makanan para penambang belerang, mencari sisa roti para pendaki yang berceceran di kawasan basecamp Pondokan.
Dita duduk meluruskan kaki sembari menyandarkan punggung di batu besar. Sementara Rheno, pemuda itu membuka ransel dan merogoh perbekalan. Rheno mengambil kopi, kompor gas, dan air. Dia berniat menyeduh minuman penghangat. Rheno melangkah menuju tanah lapang selebar 3x3 meter yang cukup rata tanpa banyak tonjolan batu. Di samping tanah lapang itu terdapat pondok ilalang yang terawat dengan baik. Rheno berniat memakai gubuk itu untuk keperluan Dita bermalam.
Dita bersyukur kakinya tak mengalami cedera berarti. Impian menaklukkan 7 puncak tertinggi di Pulau Jawa harus tetap dilanjutkan. Pegunungan Arjuno-Welirang memiliki deretan puncak yang menantang. Puncak Arjuno, Puncak Welirang, kawasan pegunungan ini dikenal memiliki jalur pendakian panjang yang melelahkan. Menembus rimba pekat, mendaki keterjalan bukit berbatu, jurang dan tebing yang menghadang. Meskipun terdapat banyak jalur pendakian menuju puncak, Rheno dan Dita memilih mendaki dari sisi utara –sisi yang paling sering dilalui pendaki luar kota. Lagipula jalur pendakian dari arah utara memiliki mata air yang melimpah.
Matahari perlahan-lahan menuruni langit. Warna yang sebelumnya perak menyala berubah merah kekuningan. Senja hampir datang. Sepasang burung jalak bersiap pulang ke sarang.
Dita selesai membersihkan tubuh di areal mata air. Gadis itu melangkah menuju gubuk ilalang. Lima meter di sisi kanan gubuk itu, Rheno menyandar punggung di batu besar sambil menghangatkan tubuh. Di depan Rheno api unggun kecil menggeliat-geliat. Secangkir kopi yang hampir habis tergeletak di samping tumpukan kayu cadangan untuk persediaan perapian waktu malam.
Udara senja menabur dingin. Batang-batang kayu perapian api unggun bergemeratak dilalap api. Jari-jari tangan Rheno terbuka menangkap radiasi perapian. Saat Dita melangkah mendekatinya, Rheno tersenyum lebar. Ah, paras perempuan yang dicintainya itu begitu memikat. Eksotis. Seperti sekuntum anggrek gunung yang mekar di musim penghujan. Dita membalas senyum Rheno sembari merapatkan resleting jaketnya.
“Nggak mandi, Rhen? Mumpung belum dingin,”
“Kamu mandi?” Rheno malah ganti bertanya. Ekspresinya terkejut.
“Iya. Airnya segerrr,” Dita antusias menjawab.” Rugi kalo nggak mandi. Mata air di tempat ini mata air tertinggi,”
“Emangnya kenapa?”
“Yee, bikin awet muda tau! Ayo sana, buruan mandi,”
Rheno enggan menanggapi. Lelaki itu memilih bercumbu dengan kehangatan perapian. Jemari Rheno terus terbuka menangkapi pancaran api sambil sesekali melempar batang ranting ke tengah nyala.
“Eh, buruan. Keburu malem,”
“Ogah, ah,”
“Eh, kalo nggak mau mandi, cuci muka, gih, biar segeran dikit. Muka kamu kucel, tuh. Ayolaah,” Dita sedikit jengkel dengan sikap malas Rheno. Mukanya manyun mengintimidasi.