3.000 m dpl.

Emil WE
Chapter #2

#2 Menuju Puncak

Nyala api unggun yang kehabisan kayu perlahan-lahan mengecil. Yang tersisa dari perapian hanyalah tumpukan bara yang sesekali memerah ketika angin bertiup. Dita lelap dalam tidur. Rheno sesekali menggigil saat tiupan angin menyapu hawa beku di wajahnya. Kantung tidur yang tebal tak mampu melawan udara dingin pegunungan Arjuno Welirang.

Saat rembulan condong ke barat, Rifki bangun. Sendi-sendi pergelangan tangan dan kaki terasa ngilu dan beku. Urat punggung seperti tertarik. 

Rifki melihat Rheno yang tidur pulas melingkarkan tubuh. Nyala perapian di dekatnya hampir padam. Dan, ah, kayu kering sudah habis. Rifki kemudian bangkit terhuyung-huyung, mencari dahan kering untuk bahan perapian. Setelah sepuluh menit terseok-seok berkeliling di tempat itu, Rifki berhasil mendapatkan dua batang dahan pinus kering sebesar lengan.

Rifki menyusun perapian. Meniup sisa-sisa bara hingga api kembali menyala. Dahan pinus kering itu dirasa cukup dipakai untuk menghangatkan tubuh sampai pagi.

“Saatnya menjerang air. Udara di puncak pasti dingin, hhhhh ..” gumam Rifki sambil menggigil. Gerahamnya bergemeretak menahan dingin.

 

Samar-samar di kejauhan, lolongan anjing hutan –Cuon Alpinus bersahut-sahutan memecah kegelapan dini hari. Sekawanan anjing hutan itu terdengar seperti berebut mangsa hasil buruan, berisik, saling berkelahi. Terdengar pula riuh perbincangan penambang belerang yang baru tiba di kawasan shelter. Mereka adalah para penambang berlerang yang akan menuju kawah belerang pada pagi hari, kawah yang berada 1 kilometer di bawah puncak gunung Welirang.

 Sambil memasak air, jemari tangan Rifki terbuka menangkap radiasi perapian. Rheno terlihat lebih nyaman dalam kehangatan. Kebekuan dini hari tak lagi mengusiknya. Dalam hati, Rifki salut dengan Rheno yang kharismatik. Lelaki di depannya itu mampu membimbing Dita mendaki gunung-gunung tinggi dan berbahaya seperti sekarang. Menghadapi keterjalan medan dengan membawa beban sendiri saja terasa sulit, apalagi harus menjaga perempuan yang di atas kertas kekuatan fisiknya tak lebih kuat dari dirinya. Apalagi jalur pendakian pegunungan Arjuno Welirang belum bersih dari tumbangan pohon, apalagi beberapa dinding tebing belum stabil dan mengancam siapapun yang melintas di bawahnya.

 Rifki bangkit, menggulung kantung tidur perlahan-lahan. Dia tak ingin membangunkan Rheno. Barang–barang yang terserak di atas tanah ditata kembali ke dalam ranselnya. Rifki mempersiapkan perbekalan mendaki puncak Welirang di ketinggian 3156 meter di atas permukaan air laut. Ya, Puncak Welirang adalah salah satu puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa.

Rifki menilik jam tangan, pukul 01.32. “Sudah saatnya,” Rifki menggumam sendiri. Tangannya kemudian menarik ransel, mengangkatnya, memanggulnya di punggung. Tubuhnya sedikit oleng lantaran beban yang dipikul. Sekilas Rifki melihat Rheno. Samar-samar api cahaya unggun memperlihatkan wajah Rheno yang tertidur pulas. Tatap mata Rifki kemudian beralih menyapu pintu gubuk yang ditempati Dita bermalam. “Semoga Dita baik-baik,” ucapnya dalam hati.

Rifki lantas bergegas meninggalkan basecamp, mengambil jalan setapak arah kanan menuju puncak gunung Welirang. Kabut tebal menyelimuti seluruh punggung pegunungan hingga jarak pandang tersisa lima meter. Sinar senter di tangan Rifki tak sanggup menembus kepekatan kabut yang bergumpal tebal seperti dinding kapas.

Perjalanan masih jauh. Medan pendakian semakin angkuh menantang. Tumbangan-tumbangan pohon berserakan. Longsoran batu seukuran badan kerbau beberapa kali menghadang di tengah jalan. Rifki terpaksa bersusah payah memanjat di atasnya, atau memilih mencari jalan lain yang bisa digunakan melintas. Dalam hati, dirinya membayangkan betapa repot Rheno dan Dita yang nantinya menerobos medan pendakian tempat ini.

 Rifki terus mendaki, membelah kabut dini hari. Langir cerah, bintang-bintang menyala lebih terang. Setelah mendaki hampir sejam, langit di sisi timur merona merah. Sementara di basecamp terakhir pendakian, para penambang belerang semakin banyak berdatangan dari kaki gunung. Mereka berjalan kaki delapan jam untuk sampai di tempat itu. Dandanan mereka serupa kupu-kupu yang telah matang, namun enggan keluar dari kepompongnya. Pakaian yang mereka kenakan berlapis lapis dan sangat rapat.

Ketika sampai di gubugnya masing-masing, penambang-penambang itu menyalakan perapian. Suara-suara cengkerama di antara mereka membangunkan Dita yang tengah meringkuk di dalam kantung tidur. Dita bangkit, melepas kantung tidur. Pintu gubuk ilalang digeser, Nampak perapian ringkih yang hampir mati. Di samping perapian, kekasihnya nampak meringkuk melawan kebekuan. Saat dilihat Rifki tak ada di tempat,

“Sepertinya .. Rifki sudah berangkat summit attack,” tatap mata Dita menyapu sekeliling,

Dita melangkah mendekati Rheno. Gadis itu duduk di samping Rheno menghadap perapian. Dita memandang wajah Rheno dengan tatapan penuh cinta. Tangan Dita kemudian membelai paras Rheno yang terasa dingin. Ingatan Dita melenting mengunjungi masa lalu.

 Rheno adalah lelaki pertama yang berhasil memikatnya, dan beruntung hobi mereka sama-sama bertualang menjelajah alam liar. Tempat-tempat eksotik dimana pun menjadi incaran penjelajahan yang mereka lakukan. Di masa-masa bertualang, Rheno menunjukkan perhatian dan rasa tanggung jawab yang besar. Hal demikian itu membuat Dita semakin mencintai Rheno. Dita percaya jika alam liar dan rimba belantara adalah zona yang menelanjangi watak tersembunyi seseorang. Jika watak asli seseorang egois, alam liar menampakkan keegoisan orang itu seketika. Berada di zona keterbatasan acapkali membuat manusia lebih berpikir menyelamatkan diri sendiri ketimbang menyelamatkan orang lain.

Lihat selengkapnya