Aku akan mencoba mengingatnya dengan akurat, meskipun aku tahu ingatan serupa dengan seorang kurator yang tidak bisa dipercaya. Ia memajang apa yang ia suka, dan membuang sisanya ke gudang seperti surat cinta yang sudah usang.
Tapi aku harus mencoba. Karena jika kau tidak merebut hak narasi atas ceritamu sendiri, orang lain akan dengan senang hati menuliskannya untukmu.
Dan percayalah, dalam versi mereka, kau tidak akan pernah jadi pahlawan, atau setidaknya manusia tanpa dosa.
Semua ini dimulai, seperti kebanyakan tragedi di abad ke-21, dengan cahaya dingin dari sebuah layar.
Bukan cahaya matahari pagi yang menjanjikan pengampunan, bukan juga cahaya keemasan dari lampu kafe yang membuat semua orang tampak lebih menarik.
Cahaya itu memancar dari layar ponsel Daka, yang ia sandarkan pada tumpukan buku teks—monumen kertas dari ambisi kami, yang ironisnya justru menjadi nisan bagi kepolosan kami. Cahaya itu, setitik cahaya merah kecil yang berkedip, menyelinap di antara kami selayaknya mata ketiga. Menjadi entitas digital yang tak diundang dalam momen analog yang paling manusiawi.
Kami merekamnya.
Aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku bisa merasakan penghakimanmu melintasi halaman ini. "Dua anak muda bodoh," mungkin begitu katamu, "yang mengorbankan masa depan untuk nafsu sesaat."
Kau salah. Atau, setidaknya, kau tidak memahami gambaran besarnya. Kami melakukannya bukan karena kami bodoh. Kami melakukannya justru karena kami merasa paling pintar.