Ada malam-malam tertentu di mana alam semesta terasa berkonspirasi untuk menyusut, hingga gravitasinya hanya cukup untuk menahan satu kamar kos dan dua orang di dalamnya. Malam itu salah satunya.
Hujan turun di luar, bukanlah hujan yang penuh amarah, tapi hujan yang metodis, yang ritmenya di atap seng terdengar seperti ketukan mesin tik tua yang sedang menulis cerita panjang dan melankolis. Aroma mi instan rasa kari ayam—parfum kemahasiswaan yang universal—masih mengambang di udara, berkelahi dengan bau asam dari kertas-kertas buku tua.
Daka berbaring di sampingku, kepalanya di atas lenganku. Matanya menatap langit-langit seolah sedang membaca peta konstelasi di retakan-retakan catnya. Jarinya, dengan ketelitian seorang calon ahli bedah, menelusuri garis-garis di telapak tanganku, mencari diagnosis atas takdirku.
“Kadang aku berpikir memori itu seperti seorang editor yang buruk,” bisiknya, suaranya hampir saja ditelan oleh suara hujan. “Ia memotong bagian-bagian terbaik. Ia menghilangkan tekstur. Kau ingat sebuah tawa, tapi kau lupa bagaimana rasanya getaran tawa itu di dadamu.”
“Membekukan waktu itu pekerjaan fiksi ilmiah, Ka,” jawabku. “Bukan pekerjaan mahasiswa yang besok ada kuis anatomi.”
Dia tertawa kecil, suaranya hanya untuk konsumsi kami berdua. “Bukan itu. Maksudku… momen seperti ini. Ini terasa begitu padat, begitu nyata. Tapi aku tahu, seminggu dari sekarang, otak kita akan mengkompresnya menjadi sebuah file .jpeg berkualitas rendah. Jadi ringkasan.”
Aku tahu persis apa yang ia maksud. Kami merupakan generasi arsiparis yang gelisah. Kami mengabadikan hidup kami dalam resolusi tinggi, mengunggahnya ke cloud, hanya untuk membuktikan bahwa kami ada. Tapi semua itu terasa seperti pertunjukan. Presentasi diri. Kami mendambakan sesuatu yang tidak untuk dipresentasikan. Sesuatu yang lebih murni.
Lalu, ide itu lahir di antara kami seperti spora, melayang di udara yang lembap sebelum akhirnya menemukan tempat untuk tumbuh. Lahir dari keheningan, dari tatapan mata kami yang saling bertanya, dari keinginan bersama untuk memiliki satu kuil suci di tengah dunia yang gaduh.