32 DETIK

IGN Indra
Chapter #7

BAB 03: LEDAKAN DI DASAR SUNYI

Kehancuran tidak selalu datang dengan suara gemuruh. Terkadang, ia datang sebagai getaran sunyi dari ponsel di dalam saku, di tengah kelas Sosiologi Media yang begitu membosankan hingga rasanya kau bisa mendengar sel-sel otakmu sendiri mati satu per satu.

Pagi itu terasa normal dengan cara yang hampir mencurigakan. Aku duduk di baris ketiga dari belakang, mencatat seadanya sambil berfantasi tentang bencana alam skala kecil—sekadar cukup untuk membatalkan sisa kelas. Pak Banyu sedang menjelaskan teori panopticon Foucault dengan semangat yang berlebihan untuk jam sembilan pagi. Konsep tentang sebuah penjara tak terlihat, di mana kita berperilaku baik hanya karena ilusi bahwa kita selalu diawasi. Ironisnya, sebentar lagi aku akan belajar bahwa Foucault salah.

Aku merasakan ada yang aneh di udara, dengan disonansi frekuensi rendah yang belum bisa kuidentifikasi. Alya, yang biasanya duduk di sebelahku dan menjadi rekan konspirasi dalam mengirimi meme tentang dosen, hari ini memilih kursi di barisan lain. Dekat pintu. Seolah menyiapkan jalur pelarian. Dia menunduk menatap buku catatannya dengan intensitas seorang pemecah kode, padahal aku tahu isinya hanya lirik lagu dan gambar-gambar bunga matahari yang anatomisnya salah. Dia menghindariku. Dan perasaan itu menusuk seperti serpihan kaca kecil di bawah kulit.

Lalu ponselku bergetar. Notifikasi Twitter. Di bawah meja, terlindung dari tatapan Pak Banyu yang mahatahu, aku membukanya.

Akun itu bernama @KepoAjaSih, dengan foto profil telur pecah—simbol anonimitas pengecut yang universal. Ia telah menyebutku dalam sebuah balasan.

Tweetnya berbunyi: Ini ceweknya @KiranaAzzahra bukan sih? Mukanya mirip bgt sama video #32detik yang lagi rame.

Jantungku tidak berhenti berdetak. Rasanya lebih buruk. Ia terasa seperti ingin dicabut dari tempatnya, diremas, lalu dimasukkan kembali, semuanya dalam sepersekian detik. Di bawah tulisan itu, ada video. Kualitasnya buruk, goyang, seolah direkam dari layar lain dalam kepanikan. Aku tidak perlu menekan tombol putar. Memoriku sudah memutarnya untukku.

Aku mengenali cahaya temaram dari lampu tidurku yang murah. Aku mengenali poster The Smiths di dinding kamarku yang sedikit miring. Aku mengenali cara bahuku bergerak saat aku tertawa. Aku mengenali cara tangan Daka menyentuh leherku. Setiap detail terlihat seperti pengkhianatan.

Tidak. Matikan. Tolong matikan.

Napas. Kenapa aku tidak bisa napas?

Mata. Mata di mana-mana. Mereka melihat. Dindingnya bergerak mendekat. Suara Pak Banyu... hentikan suara itu. Dingin. Kenapa dingin sekali?

Lihat selengkapnya