Ibu menelepon pada hari Kamis, tepat saat aku sedang duduk di perpustakaan, mencoba dengan sia-sia untuk fokus pada draf tugas akhir Metode Penelitian Kualitatif-ku. Tentu saja. Dunia tidak akan mengizinkanku punya kemewahan sekecil itu. Beliau tidak menanyakan kabarku. Beliau tidak berbasa-basi tentang cuaca atau UAS yang sudah di depan mata. Kalimat pertamanya adalah dekret, bukan permintaan: “Pulang.”
Rumah ibuku tidak pernah terasa seperti rumah. Ia lebih terasa seperti museum yang dikurasi dengan cermat, pameran permanen tentang kehidupan yang tidak pernah benar-benar bahagia. Udara di dalamnya selalu berbau kamper dan penyesalan yang tidak terucap. Setiap perabotan diletakkan dengan presisi geometris yang kaku, seolah satu sentimeter pergeseran akan memicu bencana. Hari itu, saat aku duduk di seberangnya di meja makan yang tidak pernah kami gunakan untuk makan bersama, kebekuan di antara kami terasa seperti kondisi terminal.
Ibu meletakkan cangkir tehnya di atas tatakan tanpa menimbulkan suara. Sebuah keahlian yang ia pelajari selama bertahun-tahun membungkam emosi. Lalu, tanpa menatapku, dia bicara.
“Ibu dapat kiriman video dari grup arisan,” katanya, suaranya datar seperti permukaan meja di antara kami. Aroma teh melati yang diseduhnya membuat perutku yang sejak pagi sudah bergejolak, terasa semakin mual. “Mereka tanya, itu kamu?”
Bukan “Kamu baik-baik saja?” Bukan “Apa yang terjadi?” Hanya pertanyaan verifikasi. Aku dianggap produk cacat yang perlu dikonfirmasi sebelum ditarik dari peredaran dan dihancurkan.