Aku pulang dari kamar Reksa bukan dengan perasaan lega, tapi dengan kejernihan brutal yang membekukan. Amarahku, yang tadinya panas dan kacau, kini telah mendingin dan memadat menjadi ujung tombak yang tajam dan memiliki tujuan. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Di kamarku, aku membuka laptop. Layarnya masih menampilkan draf proposal skripsiku yang terbengkalai, tentang “Analisis Wacana Objektivitas di Media Digital.” Aku menatapnya selama sepuluh detik. Sebuah relik dari masa depan yang tidak akan pernah kumiliki. Aku menutup file itu tanpa menyimpannya. Lalu aku membuka dokumen baru yang kosong.
Dokumen Studi Kasus: Anatomi Kematian Sosial K.A. yang selama ini menjadi arsip rahasiaku, kini terasa seperti tumpukan amunisi mentah. Mengobservasi tidak lagi cukup. Sudah waktunya merakit bom.
Kursor itu berkedip-kedip di pojok kiri atas, menjadi detak jantung digital yang menantangku. Aku tahu, menulis cerita ini akan menjadi bentuk lain dari kekerasan pada diri sendiri. Viviseksi, pembedahan yang dilakukan dalam keadaan sadar. Aku harus kembali ke setiap momen, setiap tatapan, setiap bisikan, setiap penghinaan. Aku harus membiarkan diriku merasakan semuanya lagi, kali ini secara sukarela, kata demi kata.
Prosesnya adalah neraka. Setiap beberapa jam, gelombang mual dari kehamilanku datang bersamaan dengan gelombang memori yang traumatis, bagai konspirasi biokimia dan psikologis. Aku berlari ke kamar mandi, memuntahkan isi perutku yang sebenarnya kosong. Aku kembali ke laptop, keyboard-ku basah oleh keringat dingin dan air mata frustrasi. Menulis tentang rasa malumu sendiri terasa seperti mencoba menggambar peta dari sebuah negara yang tidak ada; kata-kata terasa seperti alat yang tidak memadai.
Tapi aku terus menulis. Karena ini bukan lagi sekadar curhat. Ini adalah operasi militer.
Aku tidak menulis sebagai korban yang memohon simpati. Aku menulis sebagai seorang jurnalis yang mengungkap kebusukan sistem. Aku menulis sebagai seorang filsuf yang membedah kemunafikan massal.