Beberapa hari setelah aku menekan tombol "Kirim", dunia terasa menahan napas. Aku menjalani rutinitas dengan perasaan aneh, seperti seorang teroris filsafat yang telah menanam bom ideologis dan kini hanya bisa menunggu hitungan mundurnya selesai. Setiap getaran notifikasi di ponsel terasa seperti peringatan dini dari ledakan yang tak terhindarkan.
Bom itu meledak pada hari Minggu pagi, di tengah ritual paling banal: mencoba membuat kopi instan dengan air dari dispenser yang tidak cukup panas. Saat itulah pesan WhatsApp dari Lita, editor Suara, muncul.
Lita: Ran, artikelmu sudah kami terbitkan. Kencangkan sabuk pengamanmu.
Di bawahnya, sebuah tautan.
Jantungku berdebar begitu kencang hingga aku bisa merasakan denyutnya di ujung jari, membuat layar ponsel sedikit bergoyang. Aku mengklik tautan itu. Di sana, di layar, terpampang tulisanku. Judulnya persis seperti yang kutulis: “32 Detik, dan Ribuan Kata yang Mereka Lupakan.” Di bawahnya, namaku: Kirana Azzahra. Sebuah deklarasi perang, bukan lagi permohonan.
Awalnya, reaksinya hanya riak kecil di kolam media sosial kampus. Komentar hati-hati dari teman sekelas, “Wah, keren,” atau “Salut.” Tapi kemudian, sekitar jam makan siang, seorang aktivis feminis dengan ratusan ribu pengikut—simpul utama dalam jaringan informasi—menemukan artikelku. Dia men-tweet tautan itu dengan caption singkat: Berhenti scroll sebentar. Baca manifesto ini. Serius. Bikin Merinding. #SuaraKirana
Dan setelah itu, dunia digital terbelah dua.
Ponselku berubah menjadi portal menuju neraka digital yang bergetar tanpa henti. Notifikasi dari Twitter, Instagram, bahkan permintaan pertemanan di Facebook dari orang-orang yang tidak kukenal, membanjir seperti air bah. Tagar #SuaraKirana menjadi trending topic, medan perang virtual baru. Aku menghabiskan satu jam berikutnya terpaku di tempat tidur, melakukan hal yang paling merusak sekaligus paling manusiawi di era ini: membaca kolom komentar.
Aku menyaksikan secara real-time teori-teori Sosiologi Media dari kuliahku menjadi kenyataan. Terjadi sebuah polarisasi ekstrem. Tidak ada lagi ruang netral. Kau berada di pihakku, atau kau ingin aku musnah.