32 DETIK

IGN Indra
Chapter #14

BAB 10: GAUNG JAWABAN

Beberapa minggu setelah artikelku meledak dengan tagar #SuaraKirana, aku hidup dalam limbo. Dunia tidak lagi terbelah menjadi dua; ia pecah menjadi sirkus empat-arena yang bising.

Arena pertama adalah para pendukung: emoji hati berwarna-warni di kolom komentar, dukungan yang terasa hangat tapi jauh, seperti tepukan tangan dari seberang stadion. Arena kedua adalah para pembenci: mereka yang berharap aku lenyap dari muka bumi, kebencian yang terasa tajam, personal, dan sangat dekat.

Lalu arena ketiga, yang paling aneh, adalah para pemulung. Aku melihat sebuah headline di portal gosip: “Teman SMA Buka Suara: Kirana Memang Dikenal ‘Gampang Akrab’ Sejak Dulu.” "Teman SMA" yang dimaksud adalah perempuan yang tidak pernah kuajak bicara lebih dari lima menit. Sejarah pribadiku kini menjadi bahan baku untuk fiksi murahan mereka.

Dan arena keempat, yang paling sinis, adalah para kapitalis oportunis. Sebuah brand sabun pemutih mengirimiku email, menawarkan kerja sama sebagai duta kampanye #BeraniBersinar. Mereka ingin menggunakan ceritaku tentang direndahkan untuk menjual produk yang didasarkan pada gagasan bahwa perempuan baru berharga jika kulitnya lebih terang. Dukungan mereka terasa seperti penjara baru dengan terali berlapis emas.

Aku bukan lagi korban atau pahlawan; aku telah menjadi komoditas. Dan aku masih sendirian di tengah pasar malam yang hiruk pikuk ini.

Pada hari Rabu, di antara semua kebisingan itu, sebuah email masuk. Pengirimnya: Dr. Lisa Pramesti. Dosen yang dikenal dengan julukan “Naga Merah” karena rambutnya yang menyala dan reputasinya yang akan membakar argumen terlemahmu di depan kelas.

Subjek emailnya singkat: Tulisan Anda di Suara.

Isinya lebih singkat lagi:

Lihat selengkapnya