Ruang keluarga terasa seperti ruang operasi sebelum prosedur yang rumit. Dingin, senyap, dan tegang. Ibuku duduk di singgasananya—sofa tunggal berwarna gading—dengan postur seorang ratu yang akan menjatuhkan hukuman. Beliau tidak menyalakan TV, protokol tak terucap yang menandakan akan dilakukannya amputasi verbal. Di tangannya ada tablet, layarnya menampilkan artikel Kirana.
“Duduk,” perintahnya, tanpa menatapku.
Aku menurut, duduk di sofa seberang. Jarak di antara kami terasa seperti jurang.
“Ibu sudah baca tulisan perempuan itu,” katanya. Nada suaranya datar, tajam, seperti kilat dari pisau bedah. Beliau sengaja tidak menyebut nama Kirana, seolah nama itu patogen yang bisa menginfeksi rumah kami yang steril. “Dia sengaja mau menghancurkan nama baik keluarga kita.”
Ini dia. Momennya. Aku menarik napas, mencoba memompa keberanian dari paru-paru ke pita suaraku. “Bu,” aku memulai, suaraku terdengar lebih lemah dari yang kuharapkan. “Kirana korban di sini. Dia tidak melakukan apa-apa.”
Ibuku akhirnya mengangkat kepala. Matanya menatapku dengan kedinginan seorang ahli bedah yang akan memotong bagian tubuh yang terinfeksi tanpa ragu. “Korban tidak menulis manifesto untuk dilihat seluruh dunia, Daka. Korban itu diam dan menyesal. Perempuan itu pembangkangan. Dan kamu, dengan diammu, membiarkan dia menyeret nama Prasetya ke dalam lumpur.”
“Itu tidak adil! Yang salah itu Reksa!” Suaraku akhirnya keluar, sedikit lebih keras.
“Reksa sedang diurus,” potongnya tajam, menepis argumenku seolah itu lalat yang mengganggu. Tatapannya semakin menusuk. “Tapi kamu... kamu yang paling mengecewakan. Kamu diam saja. Kamu tidak tahu apa artinya menanggung aib sendirian, Daka! Ibu melakukan segalanya untuk menjaga nama keluarga ini! Segalanya!”
Aku ingin berteriak. Aku ingin membeberkan semua fakta, bahwa "nama baik keluarga" adalah konsep abstrak yang ringkih, bahwa Kirana sedang berjuang untuk hidupnya, bahwa Reksa adalah sumber infeksinya.
Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku, seolah ada tumor ganas yang menyumbatnya. Di hadapan tatapan ibuku yang mengandung es dan sejarah, semua tahun pendidikanku, semua logikaku, menguap. Aku kembali menjadi anak kecil berusia sepuluh tahun yang takut pada bayangannya sendiri.
Lumpuh.
Aku berbalik, tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, dan berjalan cepat menuju kamarku. Suara langkahku sendiri terdengar seperti dentang lonceng kekalahan.
BLAM!