Keberanian, ternyata, adalah otot. Semakin sering kau melatihnya, semakin kuat ia jadinya. Pertemuanku dengan Daka adalah latihan untuk melepaskan kebencian. Tapi undangan dari Dr. Lisa tiga bulan kemudian adalah latihan untuk jenis otot yang berbeda. Otot untuk berdiri di tengah-tengah Colosseum dan menantang singa.
“Ada slot pembicara yang kosong di seminar fakultas,” kata Dr. Lisa di ruangannya, menyodorkan brosur berjudul “Etika & Empati di Ruang Digital.”
“Aku pikir, mereka tidak butuh lagi suara dari menara gading. Mereka butuh mendengar suara dari pusat ledakan.” Dia menatapku. “Mereka butuh mendengar suaramu.”
Perutku langsung melilit. Menulis adalah satu hal; aku bisa bersembunyi di balik benteng kata-kata. Tapi bicara? Di depan ratusan pasang mata yang siap melakukan otopsi verbal terhadap setiap gerak-gerikku?
“Saya tidak tahu, Bu…”
“Kirana,” potongnya lembut tapi tegas. “Tulisanmu sudah menyalakan api. Sekarang, mereka perlu melihat apinya secara langsung. Mereka perlu tahu bahwa suara di tulisan itu punya wajah dan detak jantung.”
Di ruang tunggu, aku merasa seperti akan pingsan. Alya menggenggam tanganku yang dingin. “Anggap aja lo lagi mau presentasi tugas akhir paling penting di dunia,” bisiknya.
“Tugas akhirku nggak bikin aku mau muntah, Al,” balasku.
Saat sedang mencoba mengatur napas, aku merasakan gerakan dari dalam perutku. Tendangan kecil yang kuat. Pengingat tentang apa yang kupertaruhkan. Ini bukan lagi tentangku. Ini tentang dunia seperti apa yang akan dia masuki nanti.
Saat namaku dipanggil, aku berjalan ke podium. Cahaya panggung terasa panas dan menelanjangi. Aku bisa melihat siluet penonton: di depan, para pendukung; di tengah, para penasaran; dan di barisan belakang, sekelompok mahasiswa yang menatapku dengan seringai sinis, yang datang untuk menonton eksekusi publik.